Catatan Segar Tentang Elia

Diimaji oleh Sang Pemalas

Jingga senantiasa menghias ufuk senja. Sinar kemerahannya terpancar keseluruh angkasa menembus batas jendela kaca bangunan tua. Di balik jendela, sebuah wajah yang sayu lesu teronggok di pojok kamar berantakan. Wajah yang menengadah harapan ke langit-langit kamar. Karpet kotak-kotak serupa papan catur tergelar tanpa keramaian. Warna hitam dan putih menguntai antara penyesalan dan harapan, tak lebih! Melewatkan kepergian senja, tiada selimut ataupun bantal untuk malam-malam yang bergantian. Hanya sebelah lengan ia jadikan ganjal dari kesunyian.

Sejuk pendar cahaya matahari sore serupa lamuanannya. Hasrat cita-derita melintasi waktu yang tenggelam berlalunya harapan. Ia tersenyum sendiri, saat masa-masa lampau menyeruak lewat celah kesunyian. Tak berapa lama sudut matanya terasa berat, seperti ada yang tak dapat ditahan dan mengalirlah secara perlahan. Air mata yang mengisahkan kesedihan mendalam.

“Sulit sekali melupakanmu!” Rintihnya yang sedang tenggelam mengenang perempuan dambaan.

Ingatannya masih segar terawat walau garis pemisah sudah sangat jauh membiru. Kulit mulai kriput, rambut memutih, dan cara berjalan tidak lagi tegap tak menghalanginya untuk bermesraan pada musim yang penuh rona. Perihal ingatan, di suatu hari ia pernah berdoa agar Tuhan berkenan untuk memberi ingatan yang tajam pada masa lalu. Waktu, yang baginya tidak akan pernah bergulir terulang kembali di masa depan.

“Mungkin, kamu hanya mengagumiku, bukan mencintaiku!” Untaian kata-kata Elia tempo dulu terurai kembali. Symbol dari derita dan cinta. Derita yang menemaninya hingga tua, cinta yang menjadikannya tetap menjalani hidup dengan sebaik-baiknya meski pilu sering menerpa.

“Aku sangat sadar, andai saja keberanian jujur selayaknya merpati ada dalam aliran darahku, pastilah naskah jalan cerita akan berbeda.” Setengah bergemam, Paijo seakan menyesali ketidakberaniaanya.

“Sebenarnya aku mencintaimu bukan mengagumimu! Seperti yang engkau sangkakan padaku. Mengapa engkau tidak mengerti itu? tidakkah engkau menangkap gelagat yang kuperlihatkan, mencari perhatian serupa anak kecil yang meminta diperhatikan! tidakkah kau pahami itu semua!” Suara hatinya menjawab pernyataan yang mengandung pertanyaan dari Elia kala perjumpaanya telah berlalu. Kini, pertemuan menyisakan penyesalan yang mendalam di hati Paijo.

Hanya lenguhan nafas panjang yang terdengar, arrrgh. Ia merubah posisi, miring dipilihnya. Pandangan tirusnya tertuju pada sebuah buku kusam, Notes. Sebuah catatan kenangan masa silam. Ia sengaja menyimpan di tempat yang memudahkannya untuk dilihat agar tetap menyegarkan ingatan. Cara seperti ini dianggap terbaik untuk menajamkan ingatan pada masa mudanya. Catatan sejarah asmara yang menyimpan ribuan kata pujaan-indah untuk Elia, serta saat-saat sedih dan kecewa.

“Segala kenangan tentangmu masih sangat terawat, aku akan tetap seperti ini walau engkau tak pernah menyadarinya.” Kata-kata untuk Elia keluar begitu saja sembari memandangi buku yang sudah dipegangnya. Ia beranjak, mendekat ke sebuah pintu. Antara hening sesaat, tiba-tiba ia tersenyum, lalu sedih. Catatan di buku kecilnya telah merekam semua perasaan perjalanan manusia.

Perlahan, jemarinya membuka buku catatan. Di lembar pertama ia menatap perasaan cintanya melayang kepada Elia. Tepat saat bulan purnama, wajah Elia yang memancarkan pancaran bulan purnama yang kesejukannya telah menyelimuti seluruh jiwa-raga Paijo. Ia hanyut dalam keindahan Elia, matanya yang tajam telah menghunjam di kedalaman batin Paijo hingga ia tak dapat berbuat apa-apa selain berharap bahwa Elia dapat melihat ketidakmampuannya. Pada kesunyian itu juga, Paijo tak dapat menahan perasaan yang memenuhi seluruh keindahan pikiran. Jari-jemarinya bergerak mengikuti alur kebahagiaan. Ungkapan pujian untuk Elia telah terangkai sempurna di atas lembaran kertas. Ia berniat mengungkapkan perasaanya lewat selembar kertas, berharap elia dapat memahami maksud yang telah terangkai di dalamnya.

***

Udara sejuk pagi menbangunkan kesadaran paijo, waktu yang dinanti telah tiba. Ia bergegas dengan segera ke kampus, berharap bertemu Elia. Selama dalam perjalanan hatinya dipenuhi rasa gelisah, perasaan untuk berterus terang dihinggapi keraguan. Namun, ia mencoba mengumpulkan keberanian yang sempat ada, hingga akhirnya tekadnya bulat untuk menerima segala kemungkinan yang akan diterima. Ia berhasil membuang jauh-jauh segala keraguan yang ada. Sesampainya di kampus langkahnya terasa berat. Seolah ada beban untuk mengangkat kakinya namun, sekali lagi ia mampu membuang jauh-jauh beban itu.
Di lantai dua, dari kejauhan ia melihat perempuan yang mampu memikat hatinya, Elia. Tawa Elia yang sedang bersenda-gurau dengan teman-temannya sedikit telah menentramkan hati Paijo. Perlahan namun pasti langkah paijo tak terhenti. Kini, Paijo berdiri tak jauh dari Elia dan teman-temannya. Ia pun menyapanya.

“Hai, Elia. Apa kabar?” Sapanya.
“Baik,” Balas Elia pendek.

Seolah Elia tidak merasakan apa-apa. Memang, hubungan antara Paijo dan Elia tidak terlalu intim. Mereka hanya disatukan oleh jurasan yang sama di kampus mereka. Tapi, justru ketidakintiman itulah yang dimanfaatkan oleh Paijo untuk selalu mengamati tingkah laku Elia. Dari pengamatan sehari-hari, buih-buih pengharapan terbesar Paijo pada Elia pun berlabuh. Ia terpana oleh kepribadian Elia yang tidak manja dan tidak suka mencari perhatian teman-teman para laki-laki. Untuk ukuran kehidupan di kota besar, kepribadian Elia cukup meluluhlantakan hati Paijo.

“Boleh menyita waktumu sebentar, aku ingin bicara denganmu?”

Di antara jeda pertanyaan, sembari menunggu jawaban, jantung Paijo berdegup kencang. Ada yang tidak biasa telah terjadi dalam dirinya. Kecepatan degup jantungnya mengalirkan keringat ke segala penjuru pori-pori. Ada ketakukan dalam dirinya, takut kalau-kalau Elia menolak ajakannya. Sebelum ketakutan beranjak lebih jauh, jawaban Elia tiba-tiba menghilangkan segala angan-angan terburuknya.

“Boleh, mau ngomong apa?”

Mendengar jawaban itu, Paijopun serasa berada di dunia yang berbeda. Ketentraman telah menguasai dirinya hingga senyum sumringah tergambar jelas di raut muka yang tadinya penuh tanya. Tanpa mengulur-ulur waktu lagi ia pun segera membalasnya.

“Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu, tapi tidak di sini. Kalau tidak keberatan aku ingin mengajakmu makan di kantin, gimana?” Segera ia mendesak.

Meski Paijo sudah merasa tenang, tetap saja ia tidak berani membuka maksud pembicaraannya di hadapan teman-teman Elia. Untuk itu, maka wajar kalau kantin menjadi tempat pilihannya. Kantin yang kelak akan menjadi saksi segala kenangan mereka berdua. Saksi yang takkan pernah berbicara kecuali hanya pada mereka.

“Oke.”

Eliapun meminta ijin kepada teman-temanya. Setelah berpamitan mereka mengayunkan langkah ke kantin yang terletak di sebelah barat, samping kampus.

“Silahkan pesan.” Suruh Paijo setibanya di kantin.
“Sudah, kamu saja yang pesanin. Aku ngikut saja.”
Setelah pesanan mereka sampaikan pada penjaga kantin, Paijo mulai membuka pembicaraan.
“Gimana kabarmu?”

Ia memulai dengan pertanyaan basa-basi. Sebenarnya pertanyaan itu tak lebih dari gambaran hatinya yang mulai ragu. Ragu untuk berterus terang bahwa ia ingin menyampaikan segala isi hati yang telah membuatnya tidak bisa tidur nyenyak tadi malam. Ia sadar ini bukanlah inti dari pertemuan ini. Pertanyaan itu hanyalah siasat untuk mengurangi kegugupan belaka yang  tersirat di wajahnya.

“Alhamdulillah, aku baik-baik saja.” Singkat jawab Elia, dan selebihnya diam menguasai keadaan. Melihat Elia seperti itu, Batin Paijo semakin tak karuan. Ia pun lebih banyak membiarkan kegaduhan pengunjung kantin yang lain menyita banyak waktu.

Mendengar jawaban singkat Elia, Paijo merasa tidak yakin perasaanya bersambut kebahagiaan dari Elia. Paijo kembali dilanda gelisah, tidak yakin pada dirinya sendiri. Padahal ia berharap Elia akan bersikap mesra dan penuh kehangatan. Seperti yang terbayangkan bahwa Elia akan bertanya ba…bi…bu…kepadanya. Tapi, itu semua semu. Paijopun tidak banyak bicara dan membiarkan kesunyian menguasai keadaan. Setelah ngobrol ngalor-ngidul yang jauh dari maksud paijo, ia pun memberikan selembar kertas yang sudah terlipat rapi.

“Elia, Engkau akan tau maksud dan tujuanku setelah membaca tulisan ini. Tolong kamu baca setelah di rumah ya!” Pinta Paijo.

“Apa ini!” Terlihat sedikit bingung di raut wajah cantik Elia. Tapi, sebelum pertanyaan terjawab, Paijo sudah pamit pulang dan hanya berucap, “Tolong dibaca setelah kamu sampai di rumah ya, dan engkau akan tahu maksudku. Aku pamit dulu.”

***

    Sesampainya di rumah, Elia dengan cepat membuka amplop yang berisi surat dari Paijo.

Elia, ada kebingungan yang kurasa secara mendalam. Kebingungan antara mengungkapkan atau tidak segala perasaan yang melekat dalam diri. Di perjumpaan awal aku tidak melihat engkau berbeda dengan perempuan lain, bahkan bayang wajahmu juga tak pernah terlintas. Namun, setelah waktu membiarkan aku mengetahuimu lebih banyak, ada sesuatu yang orang lain sebut “cinta” hinggap dalam diriku. Ya, perasaan itu terus tumbuh bersama hari-hariku. Di pergantian antara malam dan siang tiadalah waktu yang tersisa jika tidak wajahmu yang menggangu pikiranku. Aku pernah merasakan tiadanya nyenyak dalam tidur, tiada lahap untuk sekedar mengisi perut, dan tiadalah motivasi hidup yang lebih berarti selain ingin bersamamu sepanjang hari. Namun, aku juga belum yakin pada apa yang kurasakan. Bisakah semua yang kurasa seperti itu kusebut?...

Aku yakin, seyakin-yakinnya bahwa bersamaan dengan surat yang kuberikan padamu, engkau akan diterpa kebingungan yang mendalam. Tiadalah sebab lain dari itu keculi aku bukanlah orang yang kamu kenal baik. Tapi, percayalah bahwa sudah lama aku mengamati tingkah dan lakumu. Oleh alasan itu pula, aku ingin mengatakan bahwa aku telah menggali kematianku sendiri di hadapanmu. Engkau boleh percaya boleh tidak,  sebab engkau tidak memiliki alasan yang cukup untuk mengerti itu semua. Aku hanya berharap, engkau tetap bersikap selayaknya setelah mengetahui ini semua.
                                                                                                      Paijo, 13, Maret 2014

Secara seksama Elia telah membaca keseluruhan surat Paijo. Perasaanya campur aduk, bahagia karena tersiratnya perasaan suka Paijo padanya dan perasaan kecewa karena belum ada kejelasan yang pasti tentang maksud dari surat itu.

Ia merubah posisi, yang tadinya tiduran ke posisi duduk. Secara perlahan ia mencoba menguasai perasaanya untuk menyatu dengan keadaan. Elia cukup lama terdiam, mencoba menenangkan diri, duduk bersila layaknya posisi sedang bertapa. Ia mencoba merasakan segala gerakan benda-benda di sampingnya, hembusan nafasnya mengikuti irama segala benda yang ia rasakan. Pikiranya mencoba menautkan perasaan yang dialaminya dengan alam sekitar. Setelah dirasa cukup ia pun mengambil kertas dan bolpoin yang tak jauh berada di sampingnya. Jemarinya mulai menulis  surat balasan untuk Paijo.

    Jo, setelah kubaca rangkai maksud yang tertera di surat itu, aku masih didera bingung untuk menerka inti terdalam dari surat yang kamu lanyangkan padaku. Jika engkau diterpa kebingungan antara jujur atau tidak, maka berbeda kebingungan yang kurasa, antara percaya atau tidak. Benar adanya sangkamu, aku tidak banyak mengetahui tentangmu, yang kutahu, kamu hanyalah teman satu jurusan, sama seperti teman-teman yang lain. Aku hargai atas ungkapan tutur lewat isarat surat, namun dengan tidak banyak alasan yang kupunya, mungkin engkau hanya mengagumiku, bukan mencintaiku!

    Seperti permintaanmu, aku akan tetap bersikap selayaknya teman. Tidak lebih! Kebingungan yang menimpaku adalah tiadanya pengalaman seperti yang engkau alami dalam hal ini. Di hidup yang serba berbeda aku tidak menemukan maksud dari tujuanmu selain memberi tahu bahwa engkau mengalami perasaan yang tak menentu. Tiadalah maksud lain yang dapat kubaca selain yang ku utarakan tadi! 
                                                                                                             Elia, 15, Maret 2014

    Surat berbalas surat. Kedua-duanya tampak tidak memiliki keberanian untuk secara jujur mengatakan yang sebenarnya. Sungguhpun demikian, Paijo sebenarnya ingin mengungkapkan bahwa ia sangat mencintai Elia, namun apalah daya keduanya tidak disamakan oleh budaya sehingga isarat Paijo tidak terbaca.

    Paijo berasal dari desa, sehari-harinya bergaul sama orang-orang kampung. Lazimnya di desa, kehidupan di sana sangat jauh berbeda dengan di kota. Di desa, orang masih tabu untuk mengungkapkan perasaan cinta pada perempuan idamannya sebelum pecinta siap untuk melamarnya. Istilah pacaran juga belum mendapat tempat yang layak, bahkan menjadi momok yang dijauhi oleh sebagian orang karena akan merusak citra. Kepercanyaan semacam itu masih sangat erat dipengang oleh Paijo sehingga keberadaannya di kota tidak bisa berubah begitu saja.

    Selama 2 tahun di kota, keberadaan Paijo tidak lantas menjadikannya bersikap seperti masyarakat kota. Di dalam dirinya masih kuat bersemanyam nilai-nilai pedesaan, nilai yang telah membesarkan dan membentuk kepribadiaanya. Di hati terdalamnya, pengungkapan rasa cinta yang tidak dibarengi kesiapan untuk berumah-tangga adalah penghianatan terbesar yang berkedok cinta. Disebabkan itu pula ia tak pernah berterus terang pada Elia, semata-mata untuk menghormatinya. Di pandangan paijo, pengungkapan rasa cinta harus menerima konsekwensi yang teramat ia benci, pacaran. Orang yang mengungkapkan rasa cinta, jika perempuan menerimanya harus siap pula untuk berpacaran. Sedangkan pacaran baginya hanyalah alasan untuk bergandengan tangan atau berpelukan yang itu semua jauh dari nilai yang dipengannya selama ini.

    Sedangkan Elia adalah perempuan kota. Cara menyampaikan sesuatu harus jelas, tidak menggunakan teka-teki yang menjemukan. Anggapan bahwa, keseriusan seseorang dalam mencintai dinilai dari keberanian mengungkapkan perasaan cintanya di hadapan perempuan secara langsung. Keberanian itu akan menjadi penilaian tersendiri bagi si perempuan. Termasuk apakah laki-laki itu akan ditolak atau diterima. Pemahaman semacam sedikit banyak telah Paijo ketahui, sehingga Paijo sedikit bisa memahami Elia, perempuan kota idamannya.

***

    Wajahnya berkaca-kaca, entah bahagia atau derita Paijo membuka halaman kedua dari buku catatan kecilnya. “Oh, Elia. Mengingatmu membuatku terasa muda kembali. Bukan lantaran usia tapi, kenanganmu tak mampu terhapus begitu saja. Kau mampu menghadirkan kehangatan dan kemesraan dalam keadaan apapun. Mungkin engkau tidak percaya, tapi begitulah keadaanya. Hingga saat ini, aku belum sepenuhnya terbebas meski engkau sudah jauh berada. Pun juga engkau sudah milik orang lain, aku masih diterpa oleh rindu yang semakin lama semakin berkecamuk.”

    Di halaman kedua, Paijo terhantar pada kekayaan diam Elia. “Sungguh diammu lebih kaya dari seluruh perjalanan kehidupanku.” Begitulah Paijo berujar suatu waktu. Dalam keheningan yang memuncak terangkai kata pujian untuk Elia. “Bagi penyair keindahan diam terungkap lewat puisi, bagi pelukis diam menjadi kuratan bibir yang indah dipandang, tapi bagiku diammu adalah tempat berteduh untuk menyimpan sekaligus menambah kekuatan dalam membangun kebahagiaan.”

    Sudah banyak orang yang menganggapku kehilangan akal, tiadalah yang baik atas penilaian orang lain terhadapku. Suatu waktu, kawanku menganggap bahwa aku telah kehilangan kesadaran akan diriku, sebab segala nasehatnya kulupakan begitu saja, tiadalah bekas yang mereka harapkan tertanam dalam diriku. Ungkapan miring lain sudah tentu tak dapat kuhitung, dan aku membiarkan itu semua lewat begitu saja. Tahukah engkau mengapa? Elia, sebab mereka tidak tahu kekayaan diammu, mereka memandang dirimu sama seperti perempuan-perempuan lain.

    Sungguh teman-temanku tidak pernah membaca kisah cinta antara Laila dan Majnun. Apa yang terjadi pada Majnun di depan ka’bah selain pinta kepada Tuhan untuk tetap membiarkan perasaan cintanya seperti yang sedang melandanya, bahkan jika dibolehkan ia meminta untuk ditambah perasaan cintanya kepada kekasih pujaannya. Sungguh kisah itu telah kurasakan kebenaranya. Dan tahukah engkau bahwa kawan-kawanku seperti orang-orang yang menginginkan kesembuhan pada Majnun. Temanku sebagai keluarga Majnun yang menganggap bahwa aku telah kehilangan kesadaran dan harus disembuhkan. Tapi aku memahami mereka, mereka terlalu cinta pada dirinya sehingga hilanglah perasaan peka untuk memahami yang lainnya.

    Mereka juga belum pernah berjalan pada jalan “Sang Penyair”, sebuah roman yang mengisahkan keabadian cinta. Jikapun ada yang membaca, mereka hanya menganggapnya sebagai penghibur belaka yang jauh dari dunia nyata. Kehidupan mereka hanyalah menumpuk harta bukan cinta, sehingga pantas mereka seperti orang buta. Tetapi, aku tidak sayangku. Aku akan tetap setia padamu meski jalan kita berbeda. Aku akan setia sebagaimana Sreno menghamba pada yang dicinta. Akan kuhadirkan kesetiaan dan kebahagiaan hanya untukmu. Dan jalan inilah, jalan yang terbaik untukmu.

    Jalan yang kau tempuh sekarang adalah jalan bahagia, hidup bersama orang yang kau cinta. Aku hanyalah kerikil kehidupan yang pernah menyentuh kakimu saat kau menapaki lorong kebahagiaan. Dan bagiku, itu sudah cukup sempurna karena dapat berjumpa dengan orang sepertimu. Kebahagiaanku bertambah saat aku melihat ada kepastian bahwa engkau hidup dengan orang yang mencintaimu dengan segenap jiwa.

    Tanganya yang kaku mengelus-elus buku itu sembari mulutnya terus tiada henti menyebut Elia sampai pipinya basah dialiri lingangan air mata. Pada saat itulah ia akan terhenti dari lamunanya. Semenjak kepergiaan Elia kebiasaan itu menjadi rutinitas terutama kala rindu di waktu senja datang. Rutinitas yang menghadirkan kehidupannya kembali. Hanya saat senja tiba ia merasa lebih punya semangat dan gairah yang berlipat ganda.

     Di balik jendela senja ia dapat melihat segalanya. Pengorbanan dan kasih sayang pernah ia berikan dapat dengan mudah membuatnya kembali tersenyum bahagia. Usia yang tak lagi muda telah membuatnya membatasi aktifitasnya. Maka putaran siang dan malam yang paling bermakna hanya saat menjelang senja datang menampakkan kemerahannya. Bagaimanapun, mengenang masa lalu selalu menjadi hal yang istimewa. Terserah, manis atau getir masa lalu itu.

    Ya, dialah Paijo, lelaki tua renta yang setia menakjubi senja. Setiap sore, ia akan duduk menghadap kearah barat bersandar kesunyian menatapi matahari yang sedang berias dengan cantiknya. Senja bukan hanya sekedar waktu, yang sama kedudukannya dengan pagi, siang dan malam. Senja lebih istimewa. Dan sekarang ia masih tetap dalam peraduannya, hingga malam melumatnya.


                                                                                                            Yogyakarta, 06-Juni-2015-00:48

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA