Sastra dan Martabat

Sastra dan Martabat
Halim HD
12 Juli 2015

Apakah ungkapan sastra dan martabat ini masih berlaku, ketika orang mengenang dan merenungi bentangan ruang sejarah dan peradaban yang telah membentuk kehidupan manusia zaman kini? Lalu memetik jalinan kalimat yang telah dijadikan pijakan dan pegangan kehidupan selama ini: melalui dan dengan sastra suatu negara, bangsa dan manusia yang mengisi ruang sosialnya telah menciptakan suatu jembatan kehidupan yang membawanya ke dalam percaturan yang bukan hanya diukur oleh kecukupan sandang dan pangan. Tapi juga nilai-nilainya sebagai manusia beserta sistem kemanusiaannya yang diwujudkan ke dalam berbagai impian, atau lebih tepatnya harapan tentang keadilan sosial, pergaulan yang santun, tata krama yang bukan hanya di ujung lidah, namun menciptakan suatu ruang dalam tubuh yang membuat seseorang atau suatu masyarakat bisa menerima perbedaan dengan rasa legawa.

Salah satu hal yang paling mendasar di dalam sastra adalah sistem nilai tentang pandangan dunia, sejenis perspektif filosofis yang mengungkapkan sistem nilai kehidupan. Melalui berbagai khazanah sastra, I La Galigo, karya-karya Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, untuk mengambil contoh adalah suatu kerangka nilai yang kita jadikan sebagai acuan di dalam memandang perjalanan sejarah beserta makna manusia dan nilai kehidupannya. Di dalam khazanah sastra itu pula kita bisa melongok dan melacak sistem nilai bersifat personal dan sosial, dan sekaligus suatu rangkuman harapan tentang makna yang baik dan buruk, yang indah dan yang jelek, yang benar dan yang salah. Rangkuman antara kebaikan, keindahan, dan kebenaran merupakan tolok ukur untuk menilai, sejauh manakah kita sudah melangkah, dan adakah setiap langkah di titian kehidupan kita sudah memenuhi persyaratan kebaikan, keindahan, dan kebenaran?

Karena ketiga kandungan itu pulalah sastra sebagai suatu bentuk selalu menjadi ruang bagi pengucapan dan pengungkapan sistem ketatanegaraan, sistem hukum, harapan untuk meraih keadilan sosial. Dan dari sanalah kita memeluk kepada masa lampau, yang tak jarang pula kita terninabobo oleh cara kita menghadapi ruang masa lalu. Kita tak menolak jika ada sebagian orang yang memeluk masa lampau dan senantiasa terninabobo dan memimpikan kenikmatan dari impian atas nama revitalisasi yang bersifat archaic, kepurbaan.

Ruang tafsir

Namun, seperti juga watak sastra yang senantiasa menelusuri ruang-ruang di dalam kehidupan dan selalu pula bersifat situasional dan kontekstual, maka sastra tak membiarkan dirinya hanya menjadi bantal pelukan dan kasur kaum pemimpi. Dia akan mengubah situasi-kondisi melalui ruang tafsir yang menjadi watak dari sastra: sejarah dan otokritik di dalam kandungan sastra senantiasa inheren. Sejarah senantiasa berada di bumi dengan gapaian akan dan tentang ruang langit, keilahian, yang diidamkan yang selalu menciptakan tegangan dan sekaligus sejenis gugatan antara takdir, nasib dan usaha manusia yang fana. Itulah makanya sastra memiliki dimensi vertikal dan horizontal, yang mengandung makna gapaian keilahian dan juga rentang jalan lurus ke ufuk pertemuan.

Sastra dan pertemuan merupakan suatu fenomena yang terus-menerus menjadi persoalan bagi kalangan sastrawan. Secara teknikal, betapa pentingnya seorang penulis sastra melakukan riset, memahami sejarah sosial, dan melacak tatanan nilai lingkungannya, dan memahami kondisi manusia. Semuanya itu, pada dasarnya adalah upaya untuk mempertemukan kembali berbagai tatanan nilai dalam konteks ruang pertemuan yang baru: dialog menjadi nilai utama, yang selalu dipertaruhkan di dalam kerangka karya sastra sebagai upaya manusia dalam sastra menggapai relung-relung batin. Melalui ruang inilah gapaian kepada keilahian selalu menggetarkan, dan bahkan menciptakan gegar, oleng-kemoleng keyakinan karena pertemuan dengan persilangan horizontal, realitas sosial dan sejarah lingkungan masyarakat yang kerap menjadi bahan olahan dan dinamit bagi karya sastra. Itulah makanya karya-karya Pasternak, Solzchenietzin, Kafka, Iqbal, Chairil Anwar, Hamzah Fansuri, Rendra, Pramoedya Ananta Toer, Amir Hamzah, Sophocles, Shakespeare, dan sejumlah pengarang sastra lainnya, yang senantiasa membuat kita gegar di dalam keyakinan namun sekaligus pula kita memasukinya dalam gapaian rindu dendam.

Rindu dendam teologis atau keilahian tak senantiasa bicara tentang Gusti Allah dengan kerangka syariah. Sastra memang bukan kitab suci agama. Chairil Anwar yang menderu bersama debu jalanan, dan dengan sepak terjang ”binatang jalang”-nya terasa hadir dalam pencarian sebagai individu modernis Indonesia dalam masa transisi yang penuh keguncangan dan kegegaran sosial-politik dengan kegelisahan sebagai makhluk keilahiah. Sebagai individu yang bebas Chairil Anwar melepaskan beban teologis yang bersifat syariah, makanya dia begitu akrab dengan Isa al-Masih, tanpa beban seperti kebanyakan sastrawan bentukan rezim Orba yang menganggap dirinya religius namun menista keyakinan orang lain. Pada Iqbal, di belahan India—lalu menjadi Pakistan—ketika mengenal Nietszche, dia mengalami keguncangan, namun dengan keguncangan itu pula keyakinannya kian mengakar, tumbuh berkembang, dan sebagai sosok dengan individualitasnya yang kian kokoh menjulang yang mampu dan bisa melakukan dialog dengan berbagai keyakinan.

Pergaulan dialogis

Pada suatu periode sejarah, negeri ini pernah mengalami suatu pertemuan dan pergaulan dialogis yang bukan hanya akrab secara personal-sosial, tapi juga memberikan inspirasi kepada kehidupan kebudayaan dan berbangsa, yang lepas dari segala prasangka. Coba kita baca dan resapkan karya-karya sastra pada periode 1940-1950-an, suatu masa yang gemilang dengan berbagai ideologi dan berbagai arus pemikiran dan di sanalah kita menyaksikan momentum penting di dalam penanaman benih kehidupan sastra dan pemikiran dalam pertemuan dan pergaulan dialogis.

Secara praktis, banyak elite partai di pusat dan daerah bersastra dan berkesenian, dan seniman tak alergi dengan dunia partai. Dan kritik adalah upaya untuk menjembatani bukan saja antara karya sastra dan publik, tapi juga menjadi kewajiban bagi sastrawan untuk menerimanya sebagai bagian karyanya. Sayang, kondisi itu hanya berlangsung dua dekade, dan lalu kita memasuki zaman ketika arus pemikiran faksionalisme begitu kuat dan banyak memerangkap kaum seniman, sadar atau tidak, menjadi onderbouw kekuasaan, politik ataupun ekonomi, dua sisi yang saling berdampingan.

Suatu kekuasaan yang menafikan dunia kebudayaan, dan menganggap sastra hanya menjadi pengganggu, membuat dirinya kian memasuki kondisi paranoia. Dalam konteks inilah, sesungguhnya justru sastra sangat perlu untuk menciptakan ruang dialog. Namun, suatu rezim bukan hanya dengan cerdik tapi juga strategis, bagaimana menciptakan ruang dialog yang dianggap prestisius dan sekaligus penyaring dan sebagai alat kontrol: pusat kesenian.

Maka, dialog tak lagi lahir dari kedalaman yang otentik, tapi dibentuk oleh kerangka dan prasangka. Konon zaman itu sudah berlalu, rezim tumbang secara politis. Namun, kenapa pula dialog kini tak lagi tumbuh berkembang, dan kenapa pula kian gencar prasangka membanjiri ruang media sosial, dan virus paranoia berbiak ke mana-mana, dengan seiring kata-kata yang terus menderas, ujung lidah setajam ujung telunjuk menuding, dengan lengking kemarahan. Di manakah sastra, dan di manakah martabat, ruang bagi siapa saja untuk mengukur diri dalam pencarian, dalam kesadaran kenisbian?

0 komentar:

Merpati Nuh

Merpati Nuh
Genthong HSA
12 Juli 2015

Cerpen ini karangan belaka, hasil imajinasi penulis berdasar banyak bacaan, termasuk buku agama Samawi.
Sebelum turun dari bahteranya ketika air bah telah surut, Nuh mengutus burung Merpati putih berjambul memeriksa, sudahkah air tuntas terserap bumi, demikian sahibul hikayat. Yang pertama, merpati kembali membawa daun-daun pohon Zaitun. Yang kedua tujuh hari kemudian, merpati kembali dengan kaki-kaki terbalut lumpur.

Jauh hari sebelum kisah merpati ini, Lembah Tengah Dua Sungai, Mesopotamia, dilanda kekeringan hebat. Lama hujan ditunggu tak kunjung bertamu, ketika akhirnya tiba, ia turun sedemikian lebatnya. Kaum Bani Rasib yang berlega-hati ketika itu was-was, khawatir Wadd, Suwwa, Nasr, Ya’uq maupun Yaghuts habis sabar, menunggu persembahan lengkap yang belum dihaturkan. Menurut Ubara-Tutu dari Shuruppag, hanya berkurban dua gelundung kepala musuh dan dua ekor kerbau jantan jelas tidak cukup. Dibutuhkan kurban jiwa anak-anak yang masih murni, laki-laki dan perempuan.

Mungkinkah terjadi isi orakel Lembah Sungai Nil, ’bah’ akan menggenangi muka bumi?! Per-Wadjet, Ular Cobra Kuil Mesir yang diagungkan, membisikkan akan datangnya air bah, tidak sendirian. Nahm atau Nuh, anak Lamik Lamaka cucu Matu Salij, mengaku dirinya nabi utusan Tuhan, memperingatkan hal yang sama. ”Hukuman Tuhan atas orang-orang yang tak mau beriman kepada-Nya bisa berupa apa saja,” katanya. ”Bila Tuhan Seru Sekalian Alam berkehendak, betapa mudah bagi-Nya menenggelamkan seluruh muka bumi ini,” tambahnya.

Kebebalan manusia tetapi, suka menantang celaka. Sebelum ada peristiwa mereka tidak percaya, pongah mengundang bencana. Nuh dengan tekun dan prihatin terus berusaha menyadarkan kaumnya, para penyembah berhala. Dan bukannya sadar, mereka malah mendirikan ziggurat, kuil persembahan, yang lebih besar lagi. Di Bukit Buto, baru setahun yang lalu ziggurat dengan tiga ratus anak tangga, didirikan. Patung-patungnya terbuat dari batu khusus asal Kirk’uk, yang dikerjakan sangat teliti oleh Togrodus dari Eshnunna. Sejak Ziggurat Bukit Buto berdiri, upacara penyerahan kurban dilakukan di sini. Orang berduyun datang. Bila ada anak manusia yang dikurbankan, orangtua dan keluarganya mendapat tempat kehormatan di baris pertama. Tangis mereka dibutuhkan untuk meyakinkan para dewa, betapa kurban adalah anak-anak yang dikasihi dan disayangi.

Saat hujan badai terjadi, tak ada yang sempat ke Bukit Buto. Air sungai meninggi, luapan tinggal dinanti. Orang berdoa menyebut nama dewa mereka dengan gemetar, ndremimil memohon perlindungan, agar banjir yang pernah melanda tidak terjadi lagi. Banjir yang menghancurkan, banjir mematikan. Ladang pertanian ludes, ternak lenyap, penduduk Ur seperempatnya hilang tak pernah pulang. Doa mereka terjawab petir terang-benderang, gemuruh guntur dan bunyi gedebum keras menderak bumi, sungguh menciutkan hati.

Nuh sedang membangun perahu. Sebuah perahu besar dari kayu, sangat besar, disebutnya bahtera. Perahu raksasa itu untuk mengangkut keluarga dan pengikutnya, bila bah tiba. Tetapi Nuh membangun perahunya di punggung bukit, tidak di pinggir pantai. Entah bagaimana ia akan meluncurkannya ke laut, bahtera seukuran kandang sapi isi tiga ribu ekor itu menjelang jadi. Orang berkelakar tentang keledai pembuat angsa gembung di puncak gunung, berencana tamasya membawa keluarga ke tengah laut, diiring gelak-tawa tak ada habisnya. Nuh biasa dicemooh orang. Kemana pun ia pergi mengajak orang beriman kepada Tuhan, ia dicibir, dimaki, dilempari sandal, batu, dilempari kotoran lembu. Beberapa kali ia pingsan kepala berdarah, terkena batu atau pukulan kayu. Bila itu yang terjadi, seekor merpati putih akan datang menghampiri memasukkan sebutir kurma ke mulutnya. Baru ketika sadar Nuh tahu, dirinya telah dibuang orang ke pecomberan.

Nuh dan kaumnya hidup di daerah yang sangat subur, kawasan peluberan air sungai Eufrat dan sungai Tigris itu dilapisi sedimen aquatik, endapan lumpur yang menjadikannya layak ditanami dan dihuni. Di luar keluasan tanah pertanian bumi gersang-kerontang, tanah gurun berbatu, tak tampak pohon walau hanya sebatang. Selain beternak ayam, kambing, babi dan sapi, warga bertanam gandum, biji-bijian, sayuran, ubi-ubian, bumbu dapur dan obat-obatan. Meniru bangsa Mesir, mereka mengatur pengairan ladangnya dengan bantuan instalasi irigasi, membuat kanal-kanal, membangun bendungan dan waduk tandon air. Mereka juga membangun sarana pengendalian banjir, yang kerap memberi manfaat.

Hujan badai sederas itu membuat warga curiga dewa-dewa marah, orang gila itu dibiarkan hidup bersama mereka. Nuh, siapa lagi! Orang mengumpatnya ’Keledai Dogol’, perangai halus mulut bodhol. Mereka benci melihat Nuh mengajak orang menyembah Tuhan Yang Satu, lalu mengejek tuhan-tuhan kaumnya sebagai dewa semati batu. Wadd bersaudara disebutnya tuhan tanpa kesaktian, lebih bodoh dari kerbau. Memelihara diri sendiri pun berhala tidak mampu, bagaimana bisa berkuasa atas manusia? Nuh mengakui, kaumnya bukan bangsa pemalas dan dungu, tetapi mengapa menyembah berhala, patung buatan sendiri?! Patung yang bahkan tak bisa marah bila ada anak nakal mengencingi mukanya.

”Anak Lamik Lamaka harus mati!”

”Nuh harus mati, Nuh harus mati......,” terdengar suara geram sementara orang. Namun...., mendadak hujan berhenti. Begitu saja, tanpa tanda-tanda. Sedemikian deras, bagai dituang dari langit jatuhnya air, lalu tiba-tiba mandeg. Orang tercengang tak percaya. Lalu matahari muncul dari balik awan, bersinar indah sekali. Mereka keluar, berdiri di depan pintu. Seluruh pemukiman dikepung air, air. Bila hujan tidak berhenti, segera semuanya akan tersapu banjir, pasti.

Meski sejauh mata memandang hanya air, lantai rumah tidak terbenam. Mereka bergerak menuju ladang, yang begitu mereka khawatirkan. Baru pekan depan hasil akan dipanen, hujan badai tiba di tengah malam buta. Dan mereka melangkahkan kaki, perlahan, tak bisa berlari. Hingga mereka terhenti, takjub. Ladang masih ada, lengkap bersama hasilnya. Kerusakan kecil ada di sana-sini, tak seberapa, siapa percaya?! Segera mereka berlari ke arah datangnya suara berdentum saat hujan tadi, ke ziggurat Bukit Buto. Orang pun gemetar ketakutan, ziggurat ambrol. Patung-patung dewa roboh, pecah berantakan.

Walaupun kaum Nuh pandai matematika, menghitung lingkaran 360 derajat, memiliki kalender 12 bulan berdasar perhitungan bulan dan perhitungan matahari, Nuh dianggap dukun dengan segudang ilmu sihir. Berapa kali orang mencarinya untuk dijahati, Nuh tersembunyi, tak dijumpai. Kalau orang sudah melupakannya, ia muncul lagi mengajak orang beriman kepada Tuhan. Ketika ada yang berniat membakar perahunya, Nuh beserta perahu sebesar itu lenyap. Dan di sekitar rumahnya mendadak banyak singa berkeliaran.

Waktu berjalan, peristiwa berlalu. Bahtera selesai dibangun, sempurna. Langit biru, awan tipis bagai kapas putih menyaput rata. Matahari terik, udara panas, angin mati. Kerbau bersungut mencari lumpur tempat berkubang. Di atas Ur gagak-gagak hitam terbang gelisah mengitari kota, menggambar gelap, berkaok serak menusuk gendang telinga. Ziggurat-ziggurat dipenuhi persembahan, kegersangan kembali bersinggasana.

Benar-benar hanya gagak, burung yang lain tak tampak. Dari sebuah pondok di pinggiran kota, Rahmah istri Sam anak Nuh pergi tergesa-gesa, mencari bapak mertuanya. Bukan kebetulan, pasti, yang dicari sedang berjalan ke arah dari mana ia datang. Terbata-bata ia mengabarkan, air telah memancar keluar dari tempat pemanggangan roti di dapurnya, sangat deras. Bergegas Nuh mempercepat langkahnya dan benarlah, dari rumah anaknya air membanjir dan mulai menggenangi pekarangan, terus mengalir menuju lembah bawah. Nuh meniup terompetnya, cangkang kerang laut bersuara merdu, panjang berulang. Lalu ia mengajak anak, menantu dan cucu-cucunya meninggalkan rumah mereka.

Kesibukan di lokasi bahtera terutama memuatkan barang dan ransum makanan untuk jangka waktu panjang. Segala jenis binatang, sepasang-sepasang, lengkap makanan mereka, diikutsertakan. Ketika terdengar suara jeritan diiring bunyi barang jatuh, Nuh mengusap muka dan dadanya, memohon ampun ke hadirat Ilahi. Ia menyesalkan sebagian anak buahnya yang belum mantap beriman. Nuh mendatangi dua orang lelaki yang jatuh terpeleset saat meniti anak tangga, hendak memasuki bahtera. Mereka mengerang.

”Tak usah mengaduh, bangun kalian,” perintah Nuh. Dengan susah-payah kedua orang itu berdiri. ”Semua yang naik bahtera harus memulai dengan menyebut Asma Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa, sudah kalian lakukan?” Terdengar jawaban ”Ya,” walau tidak serentak. ”Lalu, mengapa kalian terjatuh?!” Nuh menggelengkan kepalanya lalu berkata, ”Cepat, mintalah ampun ke hadirat-Nya, Tuhan Yang Maha Pengampun.” Kedua orang itu segera melakukannya dengan bersujud mencium bumi.

Mereka kembali bekerja, memuatkan yang masih tertinggal. Dari bawah terdengar gemuruh air yang mulai membanjiri seluruh lembah. Kecuali di sekitar perahu Nuh, hujan turun dengan derasnya. Ketika kedua orang yang jatuh tadi meniti tangga hendak memasuki bahtera, lagi-lagi mereka terpeleset dan jatuh ke tanah. Tak ada keributan. Semua takut memandang Nuh, yang mendekati keduanya sambil berkata, ”Ada apa dengan kalian? Jangan engkau menaiki perahuku membawa kesangsian dan kotornya pikiran. Berserah-dirilah kepada Tuhan Seru Sekalian Alam, apakah kalian telah berdoa dan menyebut Asma-Nya?” Kedua orang itu mengangguk.

”Apa kalian membawa sesuatu yang mengotori hati, memberati iman?” Kedua orang itu menggelengkan kepalanya. Nuh lalu bersiul, seekor merpati yang ia lepas terbang dan telah kembali, datang menghampiri, menjatuhkan secuil pecahan batu di tangannya. Setelah memeriksanya Nuh bertanya, ”Batu apakah ini?” Kedua orang itu geleng kepala sambil menunduk. Lengang...., sekian lama sunyi. Semua orang takut, bahkan hanya untuk bernapas.

Lalu seorang perempuan berteriak dari atas perahu, ”Itu batu pecahan patung Ziggurat Buto, ia yang bawa. Ia suami saya.” Segera Nuh memerintahkan kepada siapa saja, membuang batu pecahan berhala bila ada yang membawa. Ternyata selain kedua lelaki itu tak ada yang melakukannya. Dan setelah mereka membuang batu-batunya, termasuk yang dipakainya sebagai mata cincin, batu akik, di jari tangannya, kedua lelaki itu berhasil menaiki bahtera. Kelegaan nampak di wajah-wajahnya, beban serasa hilang. Air semakin tinggi, bahtera telah diangkat air kaki-kakinya dan mulai bisa mengapung, bisa berlayar.

Badai kencang sekali, bersuit-suit membekukan hati. Warga Ur berlarian mendaki bukit dan kaki gunung, berusaha menyelamatkan diri. Yang jatuh ke air melolong minta tolong, tak ada yang bisa mendekat meraihnya, kecuali gulungan ombak yang segera menelannya. Kan’an putera Nuh, menolak datang ke perahu ketika ayahnya memanggilnya. Dengan sombong ia berteriak, ia pasti selamat naik ke puncak bukit tertinggi. Nuh kecewa, hanya bisa mengusap air matanya. Dan air terus meninggi. Merpati putih Nuh yang selalu setia menemani tuannya hinggap di pucuk tiang utama bahtera. Ia perkasa kerna ia tanpa dosa.

0 komentar:

Menghubungkan Masa lalu, Kini dan Nanti

Menghubungkan Masa lalu, Kini dan Nanti
Arahmaiani
26 Juli 2015

Mengenang, menggali, dan menghidupkan kembali budaya kreativitas masa lalu adalah kebiasaan baik dan penghormatan pada usaha manusia. Apakah itu leluhur suku tertentu ataupun bangsa tertentu dengan segala perbedaan dan kesamaannya adalah cermin usaha manusia untuk merayakan kehidupan. Merupakan upaya untuk menghargai apa yang sudah dilakukan para perintis demi mencapai kualitas kehidupan yang manusiawi dan selaras dengan alam.

Sejatinya merayakan kekayaan peninggalan budaya dan peradaban manusia atau hasil kreativitas adalah sikap yang harus dihargai oleh siapa pun. Tanpa memilah-milah sedemikian rupa untuk mengunggulkan satu dan merendahkan lainnya. Apalagi jika mengingat bagaimana kita membutuhkan kehidupan dalam kebersamaan demi kesatuan umat manusia yang terancam terpecah belah dan saling menghancurkan. Entah karena perbedaan ideologi, keyakinan, kebudayaan, ataupun sekadar kebiasaan. Namun, bisa membawa petaka memilukan: perseteruan, perang, dan kehancuran kehidupan yang seperti bisa kita saksikan terjadi di berbagai tempat dan pelosok bumi saat ini. Bagaimana manusia bisa menjadi kejam dan tega, tidak hanya terhadap sesama, tetapi juga pada makhluk lain dan planet bumi yang menjadi rumahnya.

Kenyataan

Indonesia tentu tidak terkecuali dalam hal ini. Perpecahan kalangan elite politik dan usaha mereka untuk melindungi diri dari ancaman hukum dan memelintirnya karena mungkin terlibat kasus korupsi adalah sebuah kenyataan yang harus diwaspadai. Bagaimana manipulasi wacana politik yang awalnya terdengar mulia dan diwarnai janji tanggung jawab untuk kesejahteraan bangsa bisa berubah. Dalam kenyataannya menjadi sekadar cara untuk mencari dukungan demi keuntungan pribadi atau kelompok.

Begitu pula dengan laku berbisnis yang tak bertanggung jawab yang telah mengakibatkan hancurnya lingkungan hidup. Mengakibatkan nyaris punahnya hutan tropis kedua terbesar di dunia karena keserakahan pengusaha dan praktik korupsi aparat pemerintah. Menghilangkan lahan hidup masyarakat adat yang juga berarti meluluhlantakkan budayanya. Juga telah menyumbang permasalahan lain, seperti polusi udara, air, dan tanah. Selain itu, juga menambah emisi karbon yang akan memperparah pemanasan global dan perubahan cuaca. Akhirnya akan menyengsarakan bukan saja orang Indonesia, melainkan juga seluruh penghuni planet ini. Karena dalam kenyataannya kita hidup dalam keterkaitan antara satu dan lainnya. Ya, sudah saatnya ide ”kedaulatan nasional” kini diperlebar lagi pemaknaannya.

Begitulah, betapa luas dan rumitnya permasalahan kehidupan hari ini. Dipicu oleh sistem keuangan dan industri yang pada awalnya bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan lewat modernisasi yang lahir dari masa ”pencerahan”. Manusia kini dihadapkan pada kenyataan bahwa usahanya untuk kebaikan tidak selalu berhasil dan malah justru membawa bahaya atau bahkan petaka. Demikian manusia tak luput dari kesalahan dan harus menanggung akibatnya.

Krisis demi krisis keuangan global maupun regional telah membuat kehidupan menjadi tanpa kepastian. Harga barang kebutuhan terus merambat naik, sementara ekonomi perlahan mengalami stagnasi atau bahkan penurunan. Jurang antara si kaya yang minoritas dan si miskin yang mayoritas menjadi makin lebar dan menganga. Mengakibatkan masalah ketidakadilan sosial yang sangat serius dan mengancam hancurnya kerekatan. Korban banyak berjatuhan dan mengakibatkan arus pengungsian yang amat besar ke berbagai tujuan. Menimbulkan masalah sosial politik yang rumit dan berpotensi memicu persoalan yang lebih gawat seperti ambil contoh apa yang terjadi di Myanmar, di mana umat Islam dan Buddha seakan menjadi bermusuhan.

Peringatan

Semua masalah ini adalah peringatan lebih dari cukup yang harus segera kita tanggapi. Amat sulit memang membayangkan bagaimana mencari solusi dari masalah yang sedemikian rumit ini. Dibutuhkan eksplorasi kreatif yang tak hanya dibatasi oleh kegiatan seni biasa, tetapi yang bersifat trans-disiplin. Dalam hal ini pun tidak dibatasi oleh praktik yang sudah dikenal selama ini. Perlu dibuat terobosan lebih jauh di mana pada dasarnya semua elemen dalam masyarakat bisa diajak berdialog dan bekerja sama.

Cara dan metode ”kuno” yang bersifat konfrontatif—biasanya dilakukan pada penguasa atau mereka yang di posisi kuat—mungkin dalam konteks hari ini sudah tidak efektif lagi. Karena memang sering kali hanya menjadi kegiatan sebatas wacana kalaupun bukan pemicu kekerasan dan perpecahan! Inilah tantangan garda depan yang utamanya harus dihadapi dalam kebersamaan oleh seniman, ilmuwan, dan rohaniwan. Memadukan dengan cara kreatif bidang dan keahlian berbeda dalam kesetaraan. Menghormati perbedaan tetapi sekaligus mampu melihat persamaan yang akan menjadi penghubungnya. Dengan demikian, segala potensi dan kemungkinan bisa diberdayakan tanpa dihambat oleh tembok pemisah berupa keangkuhan kekhususan bidang masing-masing.

Kembali ke kebudayaan kreatif masa lalu sebagai sebuah contoh model di mana elemen-elemen tersebut di atas bersatu-padu dalam usaha untuk meningkatkan kualitas kehidupan. Bisa dilihat dari peninggalan-peninggalan masa lalu yang tergambarkan di candi-candi kuno, baik yang dibuat dari batu maupun terakota atau tembikar yang juga dikenal dengan nama gerabah. Misalnya, rumah peribadatan kuno gerabah yang paling tua di Nusantara sampai sejauh yang sudah ditemukan adalah candi Batu Jaya di Jawa Barat (dibangun pada abad ke-4 hingga ke-5 Masehi). Ini bisa dijadikan contoh bagaimana ilmuwan, rohaniwan, teknokrat, dan seniman bekerja sama mewujudkan wadah yang menjadi tempat mengolah kehidupan, baik pada tataran spiritual, mental, maupun intelektual secara terintegrasi.

Sekalipun tempat ini diciptakan dengan teknologi awal yang sederhana, tak mengurangi nilai dan sistem budaya yang mengintegrasikan segala potensi manusia untuk bisa menjadikan kehidupan lebih beradab dan bermartabat. Hal ini bisa dijadikan bahan renungan di dalam konteks budaya dan peradaban modern yang kini menjadi melenceng dari apa yang diharapkan oleh para pembaru di zaman pencerahan. Yang justru malah menimbulkan petaka bagi umat manusia dan merisikokan kehidupan.

Dalam lingkup dan konteks hari ini kita bisa mulai dengan hal sederhana, semisal memulai kembali menghayati cara berkreasi gerabah (tembikar) atau terakota ini. Yang bersifat ramah lingkungan dan murah sehingga bisa dimanfaatkan dan dilakukan siapa saja. Tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, bangsa, maupun warna kulit. Dengan cara kerja yang bersifat komunal, orang bisa kembali mempelajari dan menghayati kehidupan yang alami dalam kebersamaan dan keterkaitan. Selain memahami sejarah/sejarah budaya, teknologi, aspek sosial politik, aspek ekonomi, dan antropologi budaya secara umumnya, juga tentunya menyadari kenyataan bahwa alam kini cenderung hanya dipandang sebagai obyek belaka.

Demikian perhelatan seni Biennale Terakota di Desa Kasongan, Bantul, DI Yogyakarta, yang digagas oleh Noor Ibrahim dan Iwan Wijono telah membuka cakrawala kreativitas yang lebih luas. Masa lalu dan kuno yang sering dianggap kurang penting karena tidak tampak secanggih yang kini bisa dibongkar dan didayagunakan lalu dihubungkan dengan masa kini. Dengan demikian, fantasi dan imajinasi manusia bisa diaktifkan untuk secara leluasa memasuki masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Yang akan memacu lebih jauh kreativitas tanpa meninggalkan akar budaya serta penghargaan atas keberlimpahan dan keramahan alam.

0 komentar:

Lelaki Ketujuh

Lelaki Ketujuh
Fandrik Ahmad
26 Juli 2015

Percayakah kawan, setiap malam pasca menikah, dengan siapa pun, suami saya berubah menjadi binatang. Kadang serigala, harimau, singa, kadang pula anjing, babi, atau bermacam-macam rupa binatang lain. Perupaan itu tak pernah berakhir kecuali saya resmi bercerai dengannya.

Engkau tak harus percaya pada cerita ini. Pada usia yang baru menginjak dua puluh lima tahun, saya sudah menikah enam kali, dengan laki-laki berbeda. Seperti pernikahan sebelumnya, tak pernah berumur lebih dari sebulan. Pernikahan saya yang keenam hanya sepuluh hari lamanya. Umpatan betapa saya perempuan yang gemar gonta-ganti suami menjadi buah bibir siap petik kapan saja.

Air mata tentu menitik. Saya tersiksa—namun di suatu sudut lain saya memang merasa pantas menerima—dengan pernikahan yang tak pernah berujung sakinah-mawaddah. Siapa yang ingin seperti ini? Bermimpi pun tidak.

Saya pasrah pada takdir. Saya bukan tipikal orang yang suka memandang dunia dengan segala kerumitan-kerumitan. Sejatinya hidup ini tidak ada kata sakit apalagi tersakiti. Yah, persoalannya sederhana; perasaan kita sendirilah yang kerap menyiksa sendiri. Hanya saja kerap persoalan sederhana tidak bisa dipikirkan secara sederhana pula.

Saya memang sudah menikah enam kali dengan lelaki yang berbeda. Namun bunga kesuburan saya tetap ranum, mekar tak tersentuh. Tak ada satu pun di antara keenam kelaki itu yang berhasil memetiknya. Ketika matahari sempurna rebah dan suami saya mengajak tidur, selalu sesosok rupa binatang di hadapan saya. Perempuan mana yang tak ketakutan bila tiba-tiba suaminya berubah menjadi binatang. Anehnya, semua kembali normal ketika cahaya fajar berpintal dan memanjang di ufuk timur.

Kerap secara tiba-tiba kekasih pertama yang saya tinggalkan—sebelum pernikahan pertama—bertandang di pikiran. Banyak alasan yang membuat saya memilih lelaki lain daripada menikah dengannya—namun rasanya kurang bijak bila saya harus memaparkan alasan itu. ”Kau tak akan pernah bahagia kecuali menikah denganku,” tukasnya sebelum pergi dengan luka yang menganga dan sorot mata serupa bara korek api. Rasanya saya ingin kembali kepadanya. Bertekuk lutut pun tak apa asal dapat menemukan kebahagiaan. Tetapi sekarang saya tidak tahu di mana keberadaannya.

Entah dengan pernikahan yang ketujuh ini. Lelaki yang menjadi pilihan ibu. Kata ibu, ia sempurna. Wajahnya teduh dengan mata yang serupa pendar langit. Tunggu. Bukankah keenam lelaki sebelumnya juga berwajah sama; teduh dengan mata serupa tatapan malaikat? Perempuan mana yang tak tergoda dengan tatapan seperti itu. Dan, semua berubah menakutkan.

Ah, sudahlah. Apa pun yang terjadi, saya yakinkan pilihan ibu sebaik-baik pilihan. Sudah seharusnya saya memberikan kesempatan kepada perempuan bermata ilalang itu setelah berkali-kali saya tolak pilihannya.

”Dik, mari shalat. Sebentar lagi Ashar,” tukas lelaki ketujuh itu. Aku beranjak mengikuti langkahnya ke perigi. Ia berbeda dengan keenam lelaki sebelumnya. Sejak pernikahan saya dengan lelaki pertama, baru lelaki ketujuh ini yang senantiasa menjaga lima tiang waktu saya sebagai manusia beragama.

Selesai shalat, selayak seorang istri, saya mencium tangannya.

”Berdoalah. Pinta apa yang Dik Taris inginkan.”

Kata-katanya bagai aliran telaga yang sangat menyejukkan. Saya mengangguk. Ia menengadahkan tangan dengan khusyuk. Saya mengikuti. Lamat-lamat, terlantun doa dari bibirnya yang lembut...

Amin.

”Dik, bangun. Waktunya shalat tahajjud,” ia mengguncang-guncang pundak saya. Saya menggeliat pelan.

”Dik, sudah waktunya shalat tahajjud,” ujarnya lagi. Saya membuka mata. Pelan. Ya, Tuhan! Seekor serigala dengan seringai menyeramkan siap menerkam. Saya memejamkan mata. Menutup diri dengan selimut.

”Pergi! Jangan mendekat…” Saya mengerang di pojok kamar. Wajahnya menjelma bunglon. Bersisik tajam dengan kelopak mata semerah saga.

”Dik, apa yang terjadi? Ada apa denganmu?” Suara itu lembut namun tampak ditekan.

”Pergi!!!”

Ini hanya halusinasi. Saya harus melawannya.

”Shalatlah duluan. Taris menyusul,” akhirnya.

Terdengar langkah menjauhi kamar. Lalu bunyi pintu. Derek engsel. Hening. Saya membuka mata. Menatap langit-langit kamar. Lagi dan kesekian kali, saya mengusir suami yang seharusnya saya manja dengan pelukan. Bagaimana saya bisa merebahkan kepala di dadanya agar saya menemukan ketenangan? Sementara acapkali matahari terbenam perupaan binatang tak ada hentinya.

Pagi masih belum sempurna ketika ia menggenggam tangan saya dan mengajak jalan-jalan mengitari perkampungan. Menikmati denyar pagi dan melihat petakan sawah yang menghijau. Burung-burung keluar dari sarang. Satu hal yang sangat indah di pagi itu adalah wajahnya tak berubah keruh setelah semalam saya usir dengan sadis.

”Apa yang terjadi semalam?”

Saya duduk di pondok bambu di sebuah pematang sawah menghadap matahari yang perlahan terbit. Saya menghela napas dan mengembuskan pelan. Semoga semua bisa terjawab pagi ini.

”Setiap malam merenggut, halusinasi itu pasti datang. Perubahan wajah pada semua orang yang menjadi suami Taris. Taris tidak tahu apa penyebabnya. Semuanya kembali normal ketika adzan Subuh berkumandang. Saya melihatmu menjadi seekor bunglon dan serigala. Kejadian seperti ini sudah berlangsung lama, sejak pernikahan pertama. Rasanya Taris lelah sekali.”

”Saya bisa mengerti. Mari bersama-sama untuk menyembuhkan penyakit itu. Dik Taris tidak keberatan kan jika saya sebut penyakit?”

”Tidak. Taris memang selalu menganggap ketidakwajaran adalah penyakit. Ibu juga selalu bilang bahwa apa yang Taris rasakan adalah penyakit.”

”Tak ada yang sulit selama kita mau berusaha dan berdoa. Matahari sudah tinggi, kita pulang sekarang,” katanya seraya membantuku berdiri.

Sudah dua bulan lima hari kami menikah. Selama itu saya tidak pernah tidur dengan suami saya. Setiap matahari kembali ke peraduan, ia selalu menjauh. Saya sampai bertanya, tidakkah bosan dengan keadaan seperti ini? Bukankah pernikahan itu hanya sebagai alat pemuas nafsu?

”Itu anggapan yang salah. Keinginan biologis tentu pasti ada. Tetapi tujuan menikah semata karena untuk menyempurnakan agama. Tahukah Dik Taris bahwa kesenangan dan kebahagiaan itu berbeda? Kesenangan muncul dari nafsu, sementara kebahagiaan datang dari hati. Kesenanganlah yang membuat kita tidak pernah puas,” tukasnya.

”Lau apa gunanya jika seorang istri tidak bisa memanjakan suami?”

”Soal Dik Taris tidak bisa melaksanakan kewajiban layaknya seorang istri, saya ikhlas. Barangkali ini adalah cobaan bagi saya, bagi keluarga kita.”

Saya tatap-lekat wajahnya yang bening. Mata yang tak jauh berbeda dengan pendar langit pagi. Mata itu seolah memberi energi kesabaran.

Air mata tak bisa saya sembunyikan.

Ia berdiri di ambang pintu. Krek. Krek. Tangannya membandul daun pintu berulang ke depan-belakang. Sesekali memainkan gerendel. Tampaknya ada sesuatu yang dicari. Entah apa. Bubungan tak lepas dari perhatiannya.

Ia mundur dua langkah. Pandangannya ke depan tak terbatas. Diam cukup lama, lalu kembali lagi posisi semula, dan maju dua langkah hingga kedua kakinya menyentuh tanah. Ia menatap langit.

”Aneh,” desisnya setelah melintasi pintu berulang kali.

”Ada apa?” saya coba memberanikan diri.

”Tidak apa-apa. Sudah shalat?”

”Ya.”

Air mukanya tampak keruh. Saya diam tidak tahu harus berkata apa. Tanpa memberi tahu, saya yakin ada sesuatu yang disembunyikan dalam pikirannya.

”Coba ke sini.”

Saya mendekat.

”Pandangilah langit itu.”

Saya manut.

”Sekarang lewati pintu itu dan pandangi lagi langit yang tadi pandang.”

Saya melewati daun pintu dan memandang langit pada titik yang sama.

”Apa Dik Taris merasakan sesuatu yang janggal?”

Saya terhenyak. Benar. Langit tampak berbeda. Lebih hitam dan gelap. Saya mendekat ke sisinya dan kembali memandang langit pada titik yang sama. Langit tampak lebih cerah. Lebih berenergi.

”Kenapa bisa berbeda?”

”Entahlah. Saya juga tidak tahu. Nanti saya coba tanyakan pada Kiai Zainur,” tukasnya. Kiai Zainur adalah pengasuh pesantren di mana ia menimba ilmu agama. Katanya Kiai Zainur ahli dalam perkara ilmu-ilmu gaib.

Mega belum sepenuhnya hilang saat Kiai Zainur mengetuk daun pintu. Namun, saya sudah mengunci pintu kamar sebelum gelap menancapkan cakarnya. Saya mencuri pandang dari celah-celah pintu. Keduanya, guru dan murid itu, terlibat sebuah percakapan serius.

Adzan Maghrib berkumandang. Suami saya mengetuk pintu kamar, mengajak shalat berjamaah. Saya jadi deg- degan membayangkan rupa bagaimanakah yang akan saya temui. Pelan daun pintu saya buka dan saya menutup mata serapat-rapatnya.

”Buang rasa takut itu. Dia suamimu,” tukas Kiai Zainur.

Saya masih belum berani menyingkirkan kedua telapak tangan dari muka saya, hingga sepasang telapak tangan memberikan kekuatan keyakinan dan keberanian betapa yang hadir di hadapan saya adalah sebenarnya suami. Senyum dan pandangannya adalah sebenarnya imam dalam hidup.Perlahan sepasang tangan itu menyibak tangan saya. ketakutan seketika menghilang oleh senyum yang mengembang dari sudut bibirnya.

Kiai Zainur duduk khidmat di atas hamparan sajadah. Ia minta segelas air putih. Tasbihnya berputar-putar. Dengan sebuah isyarat ia meminta kami mengikuti apa yang diucapkannya. Selesai berdoa dan meniup air putih, Kiai Zainur melangkah ke beranda. Langkahnya pelan, tegak, dan berwibawa. Pintu terbuka. Segelas air putih itu disiramkan pada undakan tanah di depan pintu. Pada tanah basah itu, ia menyuruh suami saya menggalinya dengan tangan. Selang beberapa menit, ada yang tampak di permukaan. Sehelai kain usang. Panjangnya kira-kira dua jengkal. Suami saya segera menyerahkannya.

”Sehelai kain kafan,” tukas Kiai Zainur.

Kami bersipaku. Diam dalam bahasa masing-masing, mempertanyakan kain itu mengapa bisa terpendam di depan pintu rumah. Sesungging senyum dari masa lalu tiba-tiba hadir dalam pikiran. Tetapi saya tak berniat untuk menceritakannya.

Bulan menggantung di pelepah randu. Dua buah bohlam dikerubung serangga-serangga malam. Gigil, tentu saja. Paras bulan sempurna rebah di wajahnya yang teduh. Matanya serupa langit berbintang. Kami menghabiskan separuh malam dengan dzikir. Tentu, setelah kami menunaikan kebahagiaan yang sempurna.

0 komentar:

Sang Pemahat

Sang Pemahat
Budi Darma
2 Agustus 2015

Ini dia, sang pemahat terkenal, Jiglong namanya, nama asli dari kedua orangtuanya di desa, bukan nama buatan setelah dia terkenal atau ingin terkenal. Dua gigi depan Jiglong sudah lama rontok, dan tidak pernah diperbaiki. Wajahnya memendam bekas luka-luka lama, yang juga tidak pernah diobati. Cara Jiglong berjalan biasa, tapi kalau diamat-amati akan tampak, dia agak pincang.

Kendati memendam bekas luka-luka lama, wajah Jiglong memberi kesan teduh, damai, dan pasrah. Barang siapa berdekatan dengan dia dan mau berkata dengan jujur, pasti mengaku terus terang bahwa wajah Jiglong memancarkan rasa tenang.

Rumah Jiglong terletak di Ketintang Wiyata, dari depan tampak biasa, tapi begitu seseorang masuk ke dalam rumah akan mengetahui, bahwa bagian belakang rumah itu luas, dan seperti wajah Jiglong sendiri, terasa teduh. Di bagian belakang rumahnya itulah Jiglong bekerja sebagai pemahat. Dia tidak mau gagah-gagahan, tidak mau memasang papan nama sebagai pemahat, tapi, awalnya, dari cerita dari mulut ke mulut, nama dia dikenal di banyak kota di Indonesia, kemudian menyebar ke beberapa negara di luar negeri, apalagi setelah dia mengunggah gambar karya-karyanya melalui internet.

Berapa umur Jiglong tidak ada yang tahu, bahkan Jiglong sendiri pun tidak tahu. Dia lahir dari rahim seorang perempuan desa, buta huruf, dan tidak mempunyai pekerjaan kecuali kalau disewa untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar. Ayahnya, Sowirono namanya, sama dengan istrinya, buta huruf, tidak mempunyai apa-apa.

Kendati tidak tahu umur tepatnya, Jiglong sadar, pada suatu saat dia harus memiliki istri, dan memiliki anak dari darah Jiglong dan istrinya.

Pada suatu malam Jiglong bermimpi, naik sepeda tanpa arah, dan ketika sampai di kawasan Kawatan tidak jauh dari Tugu Pahlawan, tampaklah sebuah pemandangan yang menakjubkan. Ada pengemis perempuan, buta, duduk di pinggir jalan. Kemudian lewatlah seorang perempuan rupawan, wajahnya memancarkan rasa tenang, mendekati pengemis buta, lalu memberi sedekah berupa uang dalam jumlah besar. Jiglong terbangun, lalu berkata kepada dirinya sendiri, ”Mungkin perempuan itulah yang kelak akan menjadi istri saya.”

Jiglong sadar, menolong sesama, apalagi kepada orang-orang duafa, adalah kewajiban hidup sebagaimana telah digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam melalui para Nabi-Nya. Dan Jiglong juga benar-benar tahu, penghasilan dia bukanlah milik dia, tetapi milik Tuhan Seru Sekalian Alam yang dititipkan kepada dia, sementara sebagian dari penghasilan itu wajib diteruskan kepada orang-orang jujur yang memerlukannya. Tidak seperti kebanyakan orang, memberi dengan harapan mendapat pahala setelah nyawanya dicabut oleh Malaikat Maut, Jiglong memberi karena memberi adalah kewajiban.

Jiglong punya beberapa mobil, semuanya mobil untuk bekerja, bukan untuk bermewah-mewah. Tapi, kalau ada waktu senggang Jiglong suka naik sepeda, entah ke mana tidak peduli, semua diserahkan kepada kehendak hati dan kakinya. Kadang-kadang, setelah naik sepeda ke sana kemari, Jiglong duduk tidak jauh dari rel kereta api Surabaya-Yogya di kawasan Ketintang Selatan. Jiglong melamun, kadang-kadang meneteskan air mata. Dulu, ketika masih kecil, oleh saudara angkat dan teman-temannya, Jiglong pernah dilemparkan ke rel kereta api, ketika kereta api sudah benar-benar mendekat.

Kalau teringat peristiwa mengerikan itu, Jiglong tidak sekadar menangisi dirinya sendiri, tapi juga menangisi kedua orangtuanya. Orangtua yang baik hati itu, selalu siap untuk berkorban, tanpa memikirkan pahala. Berbuat baik adalah kewajiban yang digariskan oleh Tuhan Seru Sekalian Alam, kewajiban yang memang harus dilaksanakan.

Pada suatu hari, ketika sedang iseng membaca koran, dengan mendadak Jiglong terperanjat ketika melihat potret seseorang mirip Jiglong sendiri bersama istrinya. Mereka suami istri, sama-sama ahli bedah jantung terkemuka, tamatan Fakultas Kedokteran Hannover, Jerman, sudah pernah praktek di banyak negara di Eropa, Amerika, dan Kanada. Karena mereka sadar bahwa dokter bedah jantung di Indonesia sangat jarang, mereka merasa berkewajiban untuk pulang ke Indonesia. Nama dokter itu Gerry Dewata Raja, dan istrinya dokter Ruth Anita Dewayani. Jiglong yakin berita mengenai dua dokter ini tidak murni, semacam iklan terselubung.

Sebetulnya malam itu Jiglong mengantuk, tapi karena gelisah, tidak bisa tidur.

Dokter suami istri itu praktek di sebuah rumah besar di Citraland, kawasan mewah dan sepi, bertetangga dengan tiga atau empat rumah saja, masing-masing dijaga satpam. Serangan jantung bisa terjadi setiap saat, tidak peduli jam berapa. Karena itu pasien boleh datang jam berapa pun, dan karena pasiennya banyak, tempat praktek itu tidak pernah sepi. Dua dokter itu menyewa beberapa dokter, perawat, dan pegawai, datang bergiliran, dua puluh empat jam setiap hari. Rasa mengantuk datang merayap-rayap, dan Jiglong pun tertidur, dan bermimpi masa anak-anak di desa dulu. Pada suatu malam, rumah bobrok ayahnya dimasuki dua orang dari Desa Gelambir, memberi tahu bahwa Pak Jalidin, abang kandung ayah Jiglong, meninggal tadi pagi. Istri Pak Jalidin sudah lama meninggal, dan anak satu-satunya, Juntrung namanya, akan telantar kalau tidak ditolong, dan karena itu tidak ada yang merawat Juntrung. Setelah berbisik-bisik beberapa saat kepada ayah Jiglong, dua orang itu minta diri karena mereka mendapat panggilan untuk bekerja di kapal pesiar berbendera Turki.

Malam itu juga Jiglong diajak ayahnya menuju Desa Gelambir, dengan bekal dua batang gula jawa utuh, dan pecahan-pecahan gula jawa yang sorenya rontok di jalan menuju ke pasar. Gula jawa adalah senjata ampuh untuk menahan rasa lapar.

Pagi hari mereka tiba di Desa Gelambir, menuju ke rumah mBok Minem, janda tanpa anak, sambil membawa dua batang gula jawa utuh. Di rumah mBok Minem mereka menemukan Juntrung, anak yang, menurut mBok Minem dan beberapa tetangga, tidak disenangi oleh siapa pun.

Mulai pagi itulah ayah dan ibu Jiglong menganggap Juntrung sebagai anaknya, sebagai saudara Jiglong. Dan mulai saat itulah, ayah dan ibu Jiglong merasakan kesengsaraan karena Juntrung benar-benar kurang ajar, suka berkelahi, berbohong, dan kadang-kadang mencuri. Dan mulai saat itulah, Jiglong sering disakiti dan difitnah oleh Juntrung.

Jiglong menaruh curiga, dokter Gerry Dewata Raja tidak lain adalah Juntrung. Sejak kecil Juntrung memang pandai, dan disegani teman-teman sekolahnya. Hampir semua perintah Juntung dituruti oleh teman-temannya. Mula-mula semua guru menyayangi Juntrung, tapi lama-kelamaan mereka sadar bahwa Juntrung tidak lain adalah anak berbahaya.

Untuk membuktikan kecurigaannya, pada hari Kamis, 13 Agustus 2015, sekitar jam enam senja, Jiglong mendatangi tempat praktek dokter Gerry Dewata Raja, menyamar sebagai pasien. Dari layar di komputernya, penerima tamu melihat kedatangan Jiglong dengan mobil kotornya, dan melihat Jiglong berpakaian sembarangan.

Ketika Jiglong mendekat, penerima tamu berbisik: ”Maaf, Bapak, sebaiknya Bapak ke dokter lain saja.”

Senyum, wajah, dan kilat mata Jiglong yang serba teduh justru membuat penerima tamu gugup.

Dengan sabar Jiglong antre, dan begitu dipersilakan masuk oleh perawat, mata Jiglong langsung bertabrakan dengan mata dokter Gerry Dewata Raja. Sama dengan dahulu, mata dokter Gerry Dewata Raja memancarkan sinar yang sangat merendahkan Jiglong.

”Ayah kamu selamanya sok bijaksana, ya. Mengutip kata-kata Nabi, ’nasib tidak ditentukan oleh Tuhan, tapi oleh usaha diri sendiri.’ Apa ayah kamu mampu mengubah nasibnya, he?”

Jiglong pulang, hatinya terketar-ketar, keringat dingin membasahi tubuhnya.

Setelah tiba di rumah, dengan perasaan tidak jelas Jiglong membongkar setumpukan koran, dan tampaklah koran hari Kamis, tanggal 16 Juli 2015, tepat sehari sebelum Hari Raya Idul Fitri 1436 tahun Hijriah. Mata Jiglong tertumbuk pada berita di halaman pertama, ”Warna Kulit Berubah Sama Dengan Donor Liver”. Terceritalah, seorang laki-laki bernama Igor Semen Glender dari kota Krasnodar, barat daya Rusia, pernah menderita kanker hati. Lalu dia terbang ke Amerika, ganti hati, donornya seorang kulit hitam keturunan Afrika. Ternyata, kulit Igor makin lama makin hitam, dan wajahnya pun lama-kelamaan berubah, mirip wajah donor. Sumber berita mirror.co.uk/c6/sof.

Jiglong tertidur, dan dalam mimpinya terputarlah pengalaman masa lalu. Kepala Sekolah membeli bekas alat suntik dari seorang tukang rombeng. Karena merangkap sebagai guru Ilmu Kesehatan, Kepala Sekolah merasa tahu bagaimana membuat orang sakit jadi sehat. Dengan disaksikan Wakil Kepala Sekolah, Kepala Sekolah memanggil Juntrung dan Jiglong.

”Juntrung,” kata Kepala Sekolah. ”Jiglong adalah saudara kamu. Dia anak baik. Berhati mulia. Kamu anak jahat. Darah kamu busuk.”

Dengan alat suntik bekas, darah Juntrung disedot banyak-banyak, lalu dibuang. Darah Jiglong disedot banyak-banyak, lalu dimasukkan ke tubuh Juntrung.

Lalu dengan nada penuh keyakinan Kepala Sekolah berkata: ”Mulai hari ini, Juntrung, kamu akan menjadi anak baik seperti saudara kamu, si Jiglong.”

Selama berminggu-minggu Juntrung dan Jiglong sakit keras. Kepala Sekolah ditangkap polisi, dan keesokan harinya kena serangan jantung, meninggal.

Begitu terbangun dari mimpi, tanpa sadar Jiglong mengambil alat-alatnya, lalu dengan sedu-sedan memahat dua pasang nisan dengan ukiran yang sangat indah. Nisan pertama ditandai ”Dokter Gerry Dewata Raja alias Juntrung, meninggal pada hari Jumat pagi, jam 03.17, tanggal 14 Agustus, 2015,” dan nisan kedua mengabarkan, dokter Ruth Anita Dewayani, meninggal pada hari dan tanggal sama, jam 03.45.

Malam itu, Kamis, 13 Agustus, 2015, tanpa alasan yang jelas semua dokter pembantu, perawat, pegawai, dan satpam pulang hanya beberapa saat setelah Jiglong diusir. Mereka merasa udara tiba-tiba menjadi panas, padahal angin bertiup dengan kencang, tidak seperti biasa. Dan, beberapa jam kemudian, Jumat, tanggal 14 Agustus, sekitar jam 03.00 pagi, dua perampok membunuh dua orang dokter itu.

0 komentar:

NU, dari Nusantara untuk Dunia

Muktamar NU
NU, dari Nusantara untuk Dunia
Rumadi Ahmad
31 Juli 2015

Tema Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama, 1-5 Agustus 2015, di Jombang adalah "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini menunjukkan adanya kesadaran baru orientasi keberislaman, bukan hanya inward looking, melainkan juga outward looking. NU tidak hanya didedikasikan untuk Indonesia, tetapi juga untuk dunia.

Kesadaran ini tentu tidak muncul tiba- tiba, tapi melalui diskusi panjang dengan memperhatikan perkembangan NU, Islam Indonesia, dan dunia Islam. Melalui tema ini, NU ingin mengubah orientasi Islam Nusantara, dari "importir" jadi "eksportir"; dari "konsumen" jadi "produsen".

Agenda ini bukan hanya penting untuk NU, melainkan juga untuk Muhammadiyah dan organisasi-organisasi Islam lain yang menyadari pentingnya Tanah Air, nasionalisme, dan kebangsaan sebagai pijakan dakwah Islamiah. Tanah Air itulah tempat berpijak membangun peradaban.

Makna dan isu strategis

Dua organisasi Islam terbesar, NU dan Muhammadiyah, dengan karakter masing-masing sudah membuktikan relevansinya sebagai penyangga dan jangkar kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan, Gus Dur-yang pikiran-pikiran kebangsaannya banyak berpengaruh di NU- menyatakan, apa pun pengorbanan yang harus dikeluarkan dan berapa pun harga yang harus dibayar, Pancasila dan NKRI harus dipertahankan.

Muktamar NU kali ini punya beberapa makna strategis. Pertama, dengan pergantian kepemimpinan nasional yang pemerintahannya belum sepenuhnya stabil, NU dituntut mengambil peran dan memastikan pemerintahan baru berjalan di atas rel yang benar. Secara ideologi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, tapi kebijakan-kebijakan yang diambil harus dipastikan tidak menyengsarakan rakyat kecil yang sebagian besar warga NU.

Kedua, Timur Tengah yang selama ini menjadi kiblat dalam melihat dunia Islam sedang berada dalam instabilitas politik yang parah. Musim Semi Arab yang berembus di berbagai belahan dunia Islam sejak 2010 ternyata tak sepenuhnya membawa perubahan mencerahkan. Tak sedikit kawasan Timur Tengah yang masih terus bergolak, saling berperang, saling bunuh, yang sebagian besar dilakukan sesama umat Islam. Munculnya NIIS juga menjadi tambahan persoalan.

Ketiga, secara internasional sekarang ini sedang terjadi pergeseran geopolitik dan peta aliansi dalam merespons berbagai persoalan. Meski sejumlah kalangan masih ada yang beranggapan Islam sebagai ancaman terhadap nilai-nilai modernitas, harus diakui-dalam perkembangan global mutakhir-Islam memiliki peran sangat penting dalam menentukan arah perubahan dunia. Islam juga semakin berkembang di berbagai belahan dunia, baik kuantitatif maupun kualitatif. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Jepang, Islam menduduki peringkat tertinggi dalam perkembangan dan penambahan pemeluk, baik karena migrasi maupun konversi.

Hal yang terakhir ini semakin menarik kalau proyeksi peta agama dunia yang dirilis lembaga riset demografi Pew Research Center (PRC) pada April 2015 itu benar. Riset berjudul The Future of World Religions: Population Growth Projections 2010-2050 tersebut mengolah data umur, tingkat kelahiran dan kematian, data migrasi dan perpindahan agama, serta populasi delapan kelompok agama mayoritas. Pada 2010, populasi delapan agama mayoritas di dunia: Kristen 31,4 persen, Islam 23,2 persen atau 1,6 miliar pemeluk, Hindu 15 persen, Buddha 7,1 persen, agama lokal 5,9 persen, Yahudi 0,2 persen, agama tak berafiliasi (unaffiliated) 16,4 persen seperti ateisme dan agnostik, dan agama lain (0,8 persen).

Proyeksi yang dibuat PRC pada 2050, populasi Muslim menanjak paling tinggi menjadi 29,7 persen (2,76 miliar pemeluk). Kristen stabil di angka 31,4 persen. Persentase Muslim dan Kristen diperkirakan sama pada 2070 (32,3 persen). Tiga dekade berikutnya, 2100, Muslim menjadi 34,9 persen dan Kristen 33,8 persen. Riset ini juga mencatat, jumlah penganut ateisme dan agnostik serta kaum tak beragama, meski meningkat di beberapa negara seperti AS dan Perancis, secara global menurun dari 16,4 persen (pada 2010) menjadi 13,2 persen (pada 2050). Sementara agama lain, seperti Hindu, Buddha dan Yahudi, tidak banyak mengalami pergeseran hingga empat dekade mendatang.

Apa makna data tersebut bagi NU dan umat Islam Indonesia? Indonesia sebagai negeri mayoritas Muslim terbesar di dunia, dan NU sebagai organisasi berbasis massa Islam yang (juga diklaim) terbesar di dunia, tentu berkepentingan dengan perubahan peta dunia itu. Persoalannya, apakah peningkatan jumlah Muslim itu akan membawa ketenangan dan perdamaian dunia atau justru jadi ancaman. Pada konteks inilah, NU seharusnya berkepentingan memastikan perkembangan Islam itu menuju ke arah perdamaian.

NU dan persoalan kebangsaan

Sejak kelahirannya tahun 1926, NU telah menunjukkan relevansi kehadirannya sebagai organisasi sosial keagamaan yang senantiasa menyatu dengan spirit kebangsaan. Para ulama pendiri NU tidak saja telah meletakkan landasan beragama dan bernegara yang kokoh, tetapi juga telah memberi teladan bagaimana seharusnya jadi Muslim di tengah keragaman bangsa. Keislaman yang dirintis ulama-ulama NU adalah model keislaman yang bisa menjadi jangkar kehidupan bangsa dan memayungi segala jenis perbedaan.

Jejak-jejak visi kebangsaan NU terlihat jelas dan menjadi perbincangan dari muktamar ke muktamar. Visi kebangsaan itu dibentuk dan dihasilkan dari cara pandang keagamaan-tepatnya fikih-yang dihayati dan dipraktikkan ulama-ulama NU. Inilah yang khas dari NU. Keputusan dan langkah apa pun, termasuk dalam hal politik, selalu disandarkan pada dalil dan argumentasi keagamaan (fikih). Pada 1938 dalam muktamar di Menes, Banten, misalnya, NU menyatakan Hindia Belanda sebagai dar al-Islam, artinya negeri yang dapat diterima umat Islam meskipun tidak didasarkan pada Islam. Alasan NU, penduduk Muslim dapat melaksanakan syariat, syariat dijalankan para pegawai yang juga Muslim, dan negeri ini dahulu juga dikuasai raja-raja Muslim. Cara pandang ini merupakan khas Sunni dalam mengesahkan dan menerima sebuah kekuasaan politik sejauh membawa manfaat bagi perkembangan kehidupan keagamaan.

Dengan prinsip tawasuth (moderat), tawazun (berimbang), dan i'tidal (berkeadilan), NU mampu menyeimbangkan antara keislaman dan keindonesiaan. Meski Indonesia 87 persen dihuni oleh orang Islam dan tak menjadi negara Islam, kecintaan NU pada negara ini tak sedikit pun berkurang. Sikap kenegaraan seperti inilah yang memungkinkan Indonesia secara ideologi tetap stabil meski goncangan datang silih berganti. NU membuktikan bahwa keislaman dan keindonesiaan bukanlah dua hal yang perlu dipertentangkan, melainkan bisa harmoni dan saling memperkuat. Hal tersebut bukan semata karena persoalan politik, melainkan paham keagamaan yang dikembangkan NU memungkinkan keduanya-keislaman dan keindonesiaan-bisa hidup bersama.

Dengan demikian, ulama pesantren tradisional telah mewariskan sesuatu yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia. NU telah mampu menunjukkan diri sebagai rahmat bagi seluruh bangsa. Nilai-nilai perjuangan NU itu sudah saatnya diadopsi sebagai model keberislaman di berbagai belahan dunia. Dengan modal itu, sudah saatnya NU bersama seluruh eksponen bangsa mengubah orientasi keberislaman, tidak hanya bergumul dengan persoalan internal kebangsaan, tetapi juga bergerak maju untuk memengaruhi pergerakan peradaban dunia.

Rumadi Ahmad

Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Peneliti Senior The Wahid Institute

0 komentar:

Meneguhkan Islam Nusantara

Muktamar NU
Meneguhkan Islam Nusantara
Zuhairi Misrawi
1 Agustus 2015

Muktamar Nahdlatul Ulama yang akan digelar 1-5 Agustus di Jombang, Jawa Timur, mengangkat tema "Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia". Tema ini diangkat dalam rangka meneguhkan posisi NU sebagai ormas Islam yang menjunjung tinggi moderasi dan toleransi dalam rangka memperkukuh solidaritas keindonesiaan dan kemanusiaan universal.

Tema ini jadi sangat penting karena dua hal. Pertama, konteks global. Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) jadi momok global yang makin menakutkan. Di tengah protes keras dunia terhadap NIIS, mereka tidak menyusutkan aksi brutalnya. Bulan Ramadhan yang hakikatnya suci dan mulia justru digunakan NIIS untuk menebarkan teror di Kuwait, Tunisia, dan Mesir.

Bahkan, saat takbir Idul Fitri berkumandang sebagai simbol kemenangan dan kebahagiaan, NIIS justru terus melancarkan aksi untuk membunuh warga sipil di Irak. Hari suci nan bahagia disulap oleh NIIS menjadi hari kelabu nan nestapa dengan membunuh sesama Muslim yang merayakan kebahagiaan Idul Fitri.

Konteks global ini harus jadi keprihatinan bersama karena Islam sebagai agama rahmatan lil alamin telah dicemarkan sedemikian rupa oleh NIIS, dan kelompok ekstrem lain, dengan menampilkan wajah Islam yang beringas dan menyeramkan. Mereka menganggap hanya paham dan kelompok mereka yang paling benar, sedangkan paham dan kelompok lain dianggap sesat dan kafir sekalipun sesama Muslim. Kelompok ini kemudian dikenal dengan al-takfiriyyun.

Kedua, konteks nasional. Harus diakui konteks global tersebut juga menjalar ke ruang republik. Secara ideologis dan teologis, paradigma "Negara Islam" bukanlah hal yang baru dalam perjalanan sejarah republik. Mereka yang mengamini ideologi tersebut sudah tumbuh benih-benihnya sejak lama dan terus berkembang meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Dalam era internet yang kian memudahkan seseorang dan kelompok menyebarluaskan ideologi "Negara Islam", sudah hampir dipastikan ideologi ini akan terus membahana di jagat republik ini. Faktanya, mereka relatif berhasil memasarkan ideologi "Negara Islam" sehingga mampu merekrut para remaja yang belum mempunyai pemahaman keislaman yang kokoh, sebagaimana layaknya kalangan pesantren.

Kedua konteks tersebut cukup menjadi alasan kuat bagi NU agar mencari terobosan untuk menegaskan identitas keislaman yang dapat memberikan harapan bagi Indonesia dan dunia.

Islam Arab

Tak bisa dimungkiri Islam agama yang lahir di Arab dan kitab sucinya berbahasa Arab. Bahkan, kitab klasik yang diajarkan di pesantren umumnya berbahasa Arab. Di dalam tradisi NU, salah satu ukuran untuk disebut sebagai ulama adalah apabila ia menguasai bahasa Arab dengan baik.

Namun, bukan berarti kita harus menelan mentah-mentah seluruh wacana yang bersumber dari Arab, khususnya wacana kekerasan yang mengatasnamakan Islam. Ibarat lautan yang sangat luas, Arab juga menyimpan sejarah dan realitas kekinian yang kelam.

Menurut Marwan Muasher dalam The Second Arab Awakening and the Battle for Pluralism, kegagalan dunia Arab dalam melakukan perubahan lebih disebabkan oleh menguatnya anasir-anasir ekstremisme dan melemahnya anasir-anasir pluralisme. Hal inilah yang menyebabkan dunia Arab mengalami kesulitan untuk bangkit dari keterpurukan dan perpecahan yang menyejarah itu.

Kelompok-kelompok yang menghalalkan kekerasan dan pembunuhan atas nama Tuhan  di dunia Islam bukan hanya isapan jempol. Keberadaan kelompok-kelompok tersebut pada hakikatnya bertujuan memecah belah umat Islam.

Nabi Muhammad SAW pernah mengingatkan kita dalam hadisnya, "Nanti akan muncul di antara umatku kaum yang membaca Al Quran, bacaan kamu tidak ada nilainya dibandingkan bacaan mereka, dan shalat kamu tidak ada nilainya dibandingkan shalat mereka, dan puasa kamu tidak ada artinya dibandingkan puasa mereka, mereka membaca Al Quran sehingga kamu akan menyangka bahwasanya Al Quran itu milik mereka saja, padahal sebenarnya Al Quran akan melaknat mereka. Tidaklah shalat mereka melalui kerongkongan mereka, mereka itu akan memecah agama Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya"(HR Sahih Muslim/2467, Sunan Abu Daud/4748).

Perihal kelompok Khawarij yang selalu mengampanyekan kedaulatan Tuhan (hakimiyatullah), Imam Ali bin Abi Thalib memberikan pernyataan menarik. Bahwa sebenarnya kampanye kedaulatan Tuhan yang kerap dikampanyekan mereka pada hakikatnya bertujuan untuk kebatilan. Sebab, paham mereka terbukti telah menumpahkan darah dan perpecahan di tengah-tengah umat.

Terobosan

Apa yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad dan Imam Ali bin Abi Thalib tersebut seakan menemukan momentum dalam konteks keindonesiaan dan global pada masa-masa mutakhir ini.  Perlu terobosan untuk merekonstruksi keberislaman yang mencerminkan identitas Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh penghuni dunia (rahmatan lil alamin).

Islam Nusantara yang dijadikan tema muktamar NU kali ini pada hakikatnya salah satu ijtihad para ulama agar Islam dapat dipahami dan diamalkan untuk kemaslahatan bangsa dan dunia. Sebab, ekspresi keberislaman yang datang dari dunia Arab mutakhir-khususnya Al Qaeda dan NIIS-sangat meresahkan.

Islam yang berkembang di negeri ini sudah teruji mampu membangun kebersamaan sebagai bangsa, bahkan terlibat langsung dalam perjuangan kemerdekaan. Bahkan, di tengah perkembangan wacana modern, seperti demokrasi, pluralisme, jender, dan hak asasi manusia, kelompok Muslim mampu beradaptasi dengan baik. Kalangan NU sendiri mampu mentransformasikan wacana modern tersebut dengan terma-terma pesantren. Demokrasi menjadi fiqh al-syura, pluralisme menjadi fiqh al-'addudiyyah, jender menjadi fiqh al-nisa,  dan hak asasi manusia menjadi fiqh huquq al-insan.

Diskursus Islam Nusantara kian kokoh melalui sebuah kaidah yang sangat populer di kalangan pesantren, "mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru/kemodernan yang lebih baik" (al-muhafadhah 'ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah).

Maka dari itu, Islam Nusantara bukanlah sesuatu yang baru dalam khazanah keislaman republik ini, melainkan khazanah yang sudah berlangsung lama. Ijtihad para ulama ini dimunculkan kembali untuk meneguhkan identitas kita sebagai umat Islam yang hidup di negeri ini dan peran yang harus dilakukan untuk menjaga kedamaian, merawat kebinekaan, dan mewujudkan keadilan sosial.

Puncaknya, para ulama NU berharap agar wajah Islam yang ramah dan toleran di negeri ini dapat jadi sumber inspirasi bagi dunia Islam yang sedang dirundung petaka akibat proliferasi ideologi NIIS. Para ulama NU menyerukan kepada dunia Islam di mana pun, saatnya kaum Muslim di dunia Arab dan Barat berkiblat ke Indonesia untuk menjadikan Islam sebagai jalan kedamaian dan kerahmatan.

Dengan demikian, Islam Nusantara bertujuan untuk mengingatkan kembali pentingnya moderasi dan toleransi dalam Islam. Namun, pada saat yang sama Islam Nusantara harus mampu mewarnai dunia sehingga Islam tidak selalu diidentikkan kekerasan dan terorisme. Semoga muktamar NU kali ini dapat melahirkan pemikiran yang genuine untuk proliferasi Islam Nusantara di negeri ini dan dunia.

Zuhairi MisrawiIntelektual Muda Nahdlatul Ulama dan Ketua Moderate Muslim Society

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA