MENUAI MAKNA SILATURRAHIM



HMI KOMFAK TARBIYAH mengadakan kunjungan ke rumah kanda Ma'ruf Yuniarno pada tanggal 12-januari-2013. Kunjungan ini merupakan bagian program kerja dalam satu periode ini 1433-1434/2011-2012. Kegiatan ini merupakan kegiatan rutin atau bisa dikatakan tradisi HMI dari waktu-kewaktu. Namun, sejak saya menjadi bagian HMI pada tahun 2009 belum pernah berkunjung ke rumah pasca maupun alumni, padahal ini adalah bagian dari tradisi “katanya”. Oleh karena itu, kunjungan ini dimaksudkan untuk menghidupkan kembali tradisi yang sudah mulai luntur. Selain itu, keyakinan tentang silaturrahim  menambah rejeki dan menambah panjang umur juga ikut serta dalam keyakinan saya.

Pada jam 11.00 anggota Komisariat Fakultas Tarbiyah berangkat dari kampus UIN menuju rumah kanda Ma'ruf yang terdiri dari pengurus dan kader. Perjalanan menuju rumah beliau kira-kira memakan waktu satu jam lebih sehingga kita tiba disana pada jam dua belas     lebih. Sesampainya disana, kamipun disambut dengan ramah dan penuh suasana ke-keluargaan. Penyambutan beliau sangat menyentuh hati, dari tutur kata dan gerak tubuh beliau menunjukkan seorang yang sangat lemah lembut dan punya penghargaan yang tinggi pada para tamu. Sempat terbesit dalam benak saya pribadi “inilah gambaran hasil dari perkaderan HMI”. Melihat tujuan HMI “Terbinanya mahasiswa Islam menjadi Insan Ulil Albab yang turut bertanggung jawab atas terwujudnya tatanan masyarakat yang diridhoi Allah” harus juga terlihat dari individu-individu yang handal di bidang intelektual dan sosial. Tujuan HMI akan terwujud apabila ditopang dengan kemampuan individu-individu yang akan membentuk masyarakat unggul dalam keilmuan dan memiliki andil dalam aktivitas sosial sebagai bagian dari masyarakat.

Beliau mulai dengan memperkenalkan diri, setelah itu dilanjutkan dengan perkenalan kami satu persatu yang berjumlah sembilan orang. Cecep Jaenudin sebagai sekretaris memulai pembicaraan dengan mengajukan pertanyaan. Pada waktu beliau menjabat sebagai ketua umum, apakah ada kader yang tidak aktif?.  Kemudian dia menambahkan, apakah ada sikap seorang kader yang seolah-olah alergi ketika bertemu-dengan pengurus?. Beliau menjawab, “ada mas. Saya yakin setiap periode permasalahan semacam itu tidak pernah absen tinggal bagaimana kita sebagai “pengurus” menyikapinya. Kalau dulu ketika saya menjadi ketua, untuk mendapat perhatian dan loyalitas terhadap organisasi, saya silaturrahim ke kos-an para kader. Kegiatan semacam itu sangat besar pengaruhnya terhadap gerak laju organisasi. Organisasi akan terhambat lajunya jika para kader dan pengurus sudah tidak punya rasa kepemilikan terhadap organisasinya. Salah satu cara untuk menumbuhkan rasa kepemilikan dengan adanya acara semacam ini, yakni silaturrahim bersama”, hal senada juga pernah disampaikan oleh pasca yang lain, Pak Ihab Habudin. Semakin anda sering “berkumpul” (hal-hal positif) maka kedekatan secara emosianal akan terbangun dan sangat berdampak positif terhadap kesolid-an dalam berorganisasi. Salah satu yang sering saya kunjungi adalah Mba' Dian dan terbukti pada acara reuni temu kangen marakom pada tanggal 30 desember 2012 beliau dating, ungkapnya.

Sekarang tantangan mahasiswa lebih berat. Kalau dulu, pada masa Orde Baru tantangan mahasiswa adalah pemerintah dengan pemaksaan ideologinya “asas tunggal”, paling mentok kita berurusan dengan militer dan berujung di buih, sedangkan sekarang anda berhadapan dengan 75% sebagai kebijakan kampus, pragmatis dan hedonis juga melanda mahasiswa dan mahasiswi sebagai dampak perubahan zaman. Masalah yang pertama yang anda hadapi sudah terorganisir dan tersistem dengan baik, sedangkan yang kedua musuh yang tidak nyata, tapi sangat dirasakan dan sangat berdampak terhadap kendurnya gerakan yang ada. Adanya kebijakan 75% sangat berpengaruh terhadap kegiatan organ ekstra, sehingga kegiatan ektra tidak banyak diminati oleh mahasiswa dan terbukti hampir semua organ ekstra, mengalami penurunan jumlah kader.

Mahasiswa lebih memilih kampus sebagai tempat berproses bukan atas dasar kesadaran tetapi, atas dasar keterpaksaan sehingga, implikasinya segala kegiatan yang bersifat kemasyarakatan tidak tersentuh. Berbeda misalnya dengan kegiatan yang ada dalam organisasi, hampir semua organ terjun-lapangan dan berkontribusi terhadap persoalan masyarakat. Taruhlah contoh yang pernah dilakukan HMI, kegiatan yang bersifat kemasyarakatan seperti baksos, mendirikan desa binaan, mengajar anak jalanan, dan kegiatan-kegiatan lain yang lebih menekankan pada aksi nyata dalam mengurangi kesenjangan antara teori dan praktek. Berbeda dengan dunia kampus yang hanya berfokus pada aspek intelektual saja dan mengabaikan aspek lainnya.

Satu hal yang membuat kita dewasa adalah masalah.  Dunia  diciptakan memang dengan semua permasalahannya di mana tugas manusialah untuk memecahkan masalah dan Allah sudah memberikan petunjuk lewat Al-qur'an dan hadist. Maka hadapilah masalah itu jika, memang masalah itu bisa memberikan manfaat bagi banyak orang.

Pengalaman hidup banyak mengajarkan kita sebuah pelajaran tentang values (nilai-nilai) kehidupan. Values dapat membawa kita dari bukan siapa-siapa menjadi seorang yang menjadikan kita mempunyai pandangan hidup yang lebih memberikan penghayatan atas semua yang akan kita jalani nantinya. Kita mungkin banyak melihat bertapa banyaknya orang yang gagal atau menjadi pencundang dalam arena kehidupan hanya karena mereka kecewa menerapkan values yang semestinya.

Ahirnya, hidup menjadi berarti jika kita mengisinya dengan sebuah perencanaan dan usaha tentang hal-hal yang baik. Yang paling penting dari semua itu adalah meskipun perencanaan itu berunjung pada kekecewaan, tetapi hidup ini adalah pemberian Tuhan. Maka selama kita hidup, nikmatilah hidup dengan bagaimana kita bergaul dengan suka cita dan harapan. Hanya dengan demikian kita dapat menemukan keindahan hidup, pendek atau panjang umur kita. Kita dapat menikati keindahan hidup, kaya atau miskin keadaan kita, karena hidup adalah anugrah.

0 komentar:

Membangun Moralitas Dengan Pendidikan

Di kehidupan modern ini, masyarakat kian maju. Tingkat aktifitas masyarakat makin intensif dengan segala kesibukannya. Hal ini dapat diketahui dengan proses dan hasil mobilisasi yang tinggi di beberapa sektor kehidupan. Sebagai bagian perangkat pembangunan, pergaulan sosial dan teknologi, menjadi hal menarik untuk dikaji. Sebab, perkembangan masyarakat tidak bisa terlepas dari kedua hal tersebut. Secara otomatis, perangkat pembangunan tersebut membuat bermacam dampak nyata. Tidak menutup kemungkinan, dampak buruk juga akan menjadi efek sampingnya.

Efek negatif yang ditimbulkan dari perangkat pembangunan ini adalah, implikasi dari penggunaan perangkat yang tidak benar. Kecenderungan yang terjadi, perangkat pembangunan yang salah guna tersebut, membawa masyarakat pada pembentukan lingkungan negatif. Di antaranya: krisis etika, pelanggaran norma, hingga degradasi moral yang sangat mengancam harmonisme kehidupan. Gejala-gejala ini, muncul di beberapa daerah yang penduduknya mayoritas gagap teknologi. Artinya, teknologi yang semakin canggih, tidak diimbangi dengan cara penggunaannya yang benar, efektif, dan efisien. Misalnya, di daerah Sleman, Jogjakarta.

Hal ini tentu sangat membahayakan, jika negatifisme (akibat buruk salah guna teknologi) dibentuk oleh proses alamiah karena penggunaan perangkat yang salah. Mengutip pendapat Muhammad Nuh, Negatifisme tidak hanya menggusur adat dan norma baik yang telah berlaku. Tetapi, Negatifisme hadir sebagai bentuk (virus) baru yang merusak tatanan nilai-nilai, mendekonstruksi ketentuan-ketentuan norma, bahkan tidak segan-segan mengusung budaya baru yang bertentangan dengan budaya lokal (local wisdom).

Contoh nyata dari Negatifisme adalah, maraknya perbuatan kejahatan, tindakan asusila, dan kriminal akibat salah guna teknologi. Pada waktu penulis masih SLTP (sekitar tahun 1996), penulis dan rekan, merasa malu/tabu membicarakan hal-hal yang berbau seks. Akan tetapi hal itu berbanding terbalik dengan keadaan sekarang. Siswa setingkat SMP, seolah kehilangan rasa malu, bahkan, merasa bebas tanpa dosa berbicara dengan perempuan (non-muhrim) di tempat umum. Tidak hanya berani berbicara, namun juga praktek-praktek (berpacaran), seolah-olah bak jamur di musim hujan. Fenomena ini, dilatarbelakangi oleh penggunaan teknologi yang salah. Siswa yang paham teknologi, menggunakan kesempatan itu untuk mencari keuntungan pribadi, bahkan tidak segan menjadikan orang lain sebagai korban.

Tidak kalah menariknya lagi tentang teknologi internet (social media: facebook, twitter, dan lain-lain). Jika kita amati dengan cermat, keganjilan yang terjadi amatlah menyesakkan dada. facebook dan twitter menyita waktu siswa lebih banyak daripada belajar. Anak remaja lebih tahan facebook-an dan bermain game-net daripada membaca buku. Kalau kita perhatikan anak remaja lebih banyak mengeluh lewat facebook ketimbang doa sesudah shalat. Lebih memilih lari ke dunia maya daripada berani menghadapi realita dunia nyata.

Fakta yang cukup ironis. Perkembangan teknologi yang pesat dan menyeluruh sampai ke pelosok desa tersebut, tidak diimbangi dengan norma dan hukum, yang mengarahkan pada terbentuknya insan sadar teknologi, dan pemanfaatannya secara tepat dan efisien. Teknologi berubah menjadi momok yang menganggu stabilitas belajar, mengurangi keakraban sosial, menghantui moralitas remaja, dan bahkan acap kali menjadi penyebab degradasi moral.

Beberapa hal penting yang perlu kita perhatikan untuk mengembalikan moral baik (akhlak karimah) pada remaja adalah melalui masyarakat. Secara sadar, masyarakat harus kembali menghidupkan norma-norma yang telah mulai redup. Seperti halnya tentang keharusan sopan santun, budaya malu, dan menghormati yang lebih tua. Aturan-aturan normatif masyarakat mengenai tata kehidupan positif serta bersifat konstruktif ini, adalah kunci untuk membuka kesadaran komunal. Masyarakat harus tegas dan berani menghukum para pelanggar norma tersebut. Ini yang pertama.

Kedua, dengan jalan pendidikan. Institusi pendidikan yang mempunyai kewajiban mendidik, harus responsif terhadap problematika remaja sekaligus bertanggungjawab memberi solusi. Jika selama ini institusi pendidikan hanya mementingkan nilai tinggi dan prestasi intelektualitas belaka, ini tentu akan mengesampingkan pembinaan kecerdasan moral dan etika yang pada hakikatnya lebih penting, guna sebagai bekal hidup bermasyarakat. Institusi pendidikan sudah sepatutnya sedini mungkin membina karakter peserta didik.

Pendidikan karakter ini menjadi sangat penting, mengingat nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya berusaha untuk melahirkan manusia yang jujur, toleran, dan saling menjunjung tinggi etika dan moral. Menurut Suyadi, dengan pendidikan karakter ini, diharapkan amanah pendidikan nasional dapat tercapai, dan nantinya membawa masyarakat yang kritis  dan peka terhadap gejala-gejala yang menyimpang dalam sebuah masyarakat.

Institusi pendidikan mengemban tanggung jawab yang besar. Perannya sangat urgen dalam mewujudkan manusia berkarakter. Hal ini, tentu mengharuskan lembaga pendidikan bekerja ekstra dalam mengatasi permasalahan tersebut. Jangan sampai lembaga pendidikan memberikan contoh yang tidak baik. Misalnya saja, dengan perekrutan siswa yang tidak fair dengan cara memaksa, atau mempersulit siswa dalam pengambilan ijazah untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mungkin permasalahan ini dianggap sepele, tetapi jika praktek ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin pada suatu saat lembaga pendidikan menjadi biang dari permasalahan. Untuk itu perlu pengelola yang sehat sehingga out put-nya pun berkualitas.

Ketiga, tokoh masyarakat yang menjadi ikon dan panutan. Sebut saja seorang kiai. Menurut Fuad Hassan, kiai adalah tokoh sentral yang kharismatik dan sangat berpengaruh di daerah ini. Untuk memaksimalkan peran pendidikan kiai ini, Kiai diharuskan untuk turun lapangan dan membaur bersama masyarakat. Melaksanakan pendidikan informal bersama masyarakat. Seorang kiai haram untuk duduk manis di singgasana, hanya untuk mengajar santri yang ada perlu dengannya. Kiai dituntut untuk memahami teknologi dan menjadi operator yang mengawasi aktivitas anak muda di dalamnya. Dengan kata lain, kiai harus menguasai social media yang berfungsi mengontrol dan memproteksi (control and protect) terhadap gempuran budaya-budaya yang negatif.

Tulisan ini pernah dimuat di blog AF-IC, (Alfalah in Campus)

0 komentar:

Copyright © 2013 KEBUN KATA