Oleh Yunarto Wijaya

07 Jan 2025 06:21 WIB · Opini

Pemilihan umum tidak langsung, termasuk pemilihan kepala daerah, bukan hal baru. Bahkan, puluhan tahun pernah menjadi praktik politik di Tanah Air. Kehendak merestorasinya kini diapungkan dengan menyegarkan narasinya.

Selain mengungkit kembali maraknya praktik politik uang (money politics), Presiden Prabowo Subianto memberikan tekanan pada argumen baru, tetapi lama: biayanya mahal, tidak efisien.

Menurut dia, anggaran itu lebih baik untuk program-program kesejahteraan (Kompas, 12/12/2024). Berbeda dengan sepuluh tahun lalu, alasan biaya kini relatif berbunyi karena beresonansi dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang sedang dalam tekanan.

Salah arah

Memperbandingkan pemanfaatan anggaran sekilas rasional, tetapi sekaligus mengaburkan konteks. Proses demokrasi seperti pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung jelas butuh anggaran. Dalam konteks politik, anggaran itu dilihat sebagai investasi. Imbal balik investasi (return on investment/ ROI)-nya berupa legitimasi dan stabilitas politik.

Ketika anggaran itu dimaknai sebagai biaya, proses demokrasi dibaca dengan logika bisnis. Dalam banyak hal, pebisnis tidak bisa dan atau tidak mau mengerti politik punya indikator ROI yang berbeda.

Akibatnya, anggaran pemilihan umum (pemilu) langsung dengan mudah distigma sebagai pemborosan alias tidak efisien.

Dalam politik, efisiensi memiliki pengertian berbeda. Menurut telaahan Novak dan Retter (1997), pengertian efisiensi mengacu pada kapasitas kandidat terpilih untuk bertindak dan kinerja sosio-ekonominya. 

Dalam konteks elektoral, efisiensi terjadi manakala pemilu bisa memfasilitasi pemilih untuk memilih kandidat yang mewakili kepentingan terbaiknya dan kemampuannya untuk menggantinya jika tidak berkinerja baik.

Dengan kata lain, isu pokoknya bukan pada besaran anggaran pemilu, melainkan bagaimana menciptakan sistem pemerintahan daerah yang berorientasi pada publik, mendapat pengawasan yang kuat dan berkinerja tinggi. 

Terkait dengan efisiensi, Presiden Prabowo juga menyebut Malaysia, Singapura, dan India sebagai contoh negara yang efisien. Yang mungkin dilupakan, ketiga negara tersebut menganut sistem parlementer, di mana kepala pemerintahan dipilih melalui parlemen dan hal yang sama berlaku pada tingkatan wilayah yang lebih rendah.

HERYUNANTO
                                                                   Ilustrasi

Dalam kasus India, pemilihan kepala daerah langsung terjadi di tingkatan kota, sementara gubernur negara bagian ditunjuk oleh pemerintah pusat (Zulfajri dkk, 2019).

Sebagai penegas, orkestrasi merestorasi pemilihan kepala daerah tak langsung berlawanan dengan tren global.

Jika di Amerika Serikat (presidensial) dan Jepang (monarki-parlemeter) pilkada langsung sudah menjadi tradisi lama, sejumlah negara Eropa, seperti Slowakia, Italia, Jerman, Hongaria, Inggris, dan Polandia, baru mulai merintisnya sejak tahun 1980-an (Hambleton dan Sweeting, 2014). 

Pergantian ke pilkada langsung tersebut merupakan bagian dari reformasi tata kelola pemerintahan lokal. Motivasinya bervariasi. Di satu sisi, memberikan ruang bagi rakyat untuk memilih pemimpin yang dikehendakinya dan membangun keterhubungan antara kepala daerah dan pemilih (Vetter dan Kirsting, 2007; Reynaert dan Steyvers, 2007).

Di sisi lain, pilkada langsung menjadi instrumen untuk mendorong penguatan kepemimpinan lokal, mempermudah dan mengoherensikan kebijakan dan oleh karena itu bisa meningkatkan kinerja dan tata kelola pemerintahan lokal (Sweeting, 2017). 

Pendalaman daulat elite

Dari uraian di atas, argumentasi mahal atau tidak efisien kurang meyakinkan sebagai motif aslinya. Sepuluh tahun lalu, di halaman ini penulis menilai bahwa upaya menerapkan kembali pilkada tak langsung sebagai upaya politik menggusur daulat rakyat dan mengembalikan daulat elite.

Bagi kaum elite, rakyat tidak kompeten, bodoh, dan mudah dimanipulasi (Wijaya, 2014). Penilaian itu kini tetap berlaku, tetapi kiranya dibutuhkan elaborasi lebih lanjut.

Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai.

Pertama, pemilihan langsung menimbulkan situasi kepala daerah dan pemilih yang lebih tidak terikat dengan partai. Lugasnya, dominasi (elite) parpol tergerus (Fenwick dan Elcock, 2014; Copus, 2010).

Kedua, menilik kecenderungan otonomi daerah yang terus digerus selama beberapa tahun terakhir, ada tendensi restorasi pilkada tak langsung merupakan bagian untuk memperkuat sentralisasi dan konsentrasi kekuasaan.

Ketiga, ilusi kekuasaan dan risiko yang terukur. Pilkada tak langsung lebih mudah dikendalikan. Persisnya, diandaikan ada skenario penjatahan pemenang untuk tiap daerah. Ini pilihan yang menyenangkan: usaha minimal hasil maksimal.

Tambahannya, sirkulasi pemimpin (lokal) menjadi lebih steril. Para bohir juga bahagia: biaya yang lebih sedikit dengan risiko yang terukur. Terkait dengan itu, keempat, orkestrasi untuk restorasi pilkada tak langsung yang dilakukan secara terang-terangan sangat mungkin pula merupakan manifestasi kelelahan (berpura-pura) demokratis.

Pada titik ini, isunya tidak sekadar pergantian sistem pilkada, tetapi terutama sebagai bentuk pameran kekuasaan untuk menyatakan mereka tidak bisa dibendung, selain juga ekspresi ketidaksukaan pada demokrasi.

Agenda revitalisasi

Dalam konteks Indonesia, gagasan pemilihan tak langsung (baik pilkada maupun pemilihan presiden) menjadi agenda politik yang wajib diwaspadai. 

Meski masih jauh dari otoritarianisme, norma standar demokrasi sudah banyak dan terus dilanggar. Karena itu, Indonesia sudah lebih dekat dengan apa yang dikategorikan Levitsky dan Way (2002) sebagai rezim otoritarian kompetitif. Proses politik setahun terakhir di Tanah Air kian menegaskan kecenderungan ini (Jaffrey dan Warbutton, 2024).

KOMPAS/HERYUNANTO
Ilustrasi

Bagi para pembenci dan atau pembegal demokrasi, otoritarian kompetitif bukanlah situasi yang ideal. Pasalnya, peluang pembalikan ke arah konsolidasi demokrasi masih terbuka. 

Pemilihan langsung (pilpres ataupun kepala daerah) membuka pintu bagi hadirnya figur alternatif yang bisa menjadi lokomotif baru demokratisasi Indonesia. Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi.

Pembelaan terhadap pilkada langsung tidaklah mengabaikan fakta bahwa banyak terjadi kekurangan dan penyimpangan dalam implementasinya. Upaya perbaikan yang sudah dilakukan cenderung setengah hati dan bahkan memperburuknya.

Secara teknis, sekadar untuk menegaskan, setidaknya ada dua ranah besar yang bisa diperbaiki.

Pertama, memangkas sumber pemborosan melalui: (a) penyederhanaan atau penghapusan aktivitas seremonial dan atau yang mendorong mobilisasi massa (contoh: pawai kampanye damai dan kampanye terbuka); (b) memperdalam digitalisasi pada tiap tahapan pemilu; (c) reformasi pendanaan kampanye untuk mencegah pembiayaan dari sumber tidak jelas dan sekaligus membatasi dana kampanye.

Kedua, membendung politik uang. Di sisi sumber dan distribusi, polisi dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) punya perangkat dan kompetensi untuk menangkalnya.

Problemnya pada kemauan politik dan juga adanya benturan kepentingan. Terkait dengan ini, hukuman terhadap pemberi dan penerima diperberat, termasuk mendiskualifikasi pasangan calon dan menghapus hak pilih penerima pada pilkada tahun berjalan.

Pada tataran kelembagaan, setidaknya ada tiga agenda pembaruan yang perlu dikedepankan untuk menghadirkan efisiensi dalam pengertian politik.

Oleh karena itu, mereka berkepentingan untuk melucuti setiap instrumen yang memungkinkan pemulihan demokrasi.

Pertama, perbaikan desain otonomi daerah, termasuk aspek keuangan daerah dan relasi antardaerah. 

Terkait dengan ini, kedua, pengaturan penggunaan anggaran daerah pada setahun sebelum dan sesudah pemilu agar tak disalahgunakan petahana untuk menggelontorkan praktik patron-klien melalui program bertipe pork barrel, program yang diada-adakan untuk pendukungnya atau pengusaha yang mau membiayai kampanyenya.

Ketiga, seperti sudah sering disampaikan pengamat dan akademisi, perlu ada pembahasan kembali mengenai desain pemilu secara keseluruhan. Pemisahan pemilihan nasional (DPR dan presiden) dan pemilihan daerah (kepala daerah dan DPRD) kiranya pantas didiskusikan kembali.

Akhirnya, revitalisasi politik di level parpol maupun pemilih. Yang disebut pertama berkaitan dengan demokratisasi internal, termasuk mengartikulasi aspirasi konstituen dalam menyeleksi kandidat. Yang disebut belakangan membangun budaya sumbangan dana kampanye dari pemilih. Saat ini, kedua hal itu, jika pun ada, sekadar formalitas dan atau untuk kebutuhan pencitraan belaka.

Situasi ideal demokrasi terjadi manakala representasi, kebebasan pilihan, dan akuntabilitas hadir secara utuh.

Pada titik ini, pemilihan langsung saja tidak cukup. Yang seharusnya jadi agenda adalah memperdalam demokrasi langsung.

Itu artinya juga menerapkan instrumen lain, seperti referendum dan konsultasi publik deliberatif. Merupakan ironi jika argumen efisiensi jadi tameng untuk mengeliminasinya dan merupakan tragedi jika kita justru melangkah ke arah sebaliknya: melucuti demokrasi.

Yunarto Wijaya Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia

https://www.kompas.id/artikel/memetakan-potensi-daerah

Pembangunan perdesaan bertujuan mencapai kesejahteraaan masyarakatnya. Dalam bahasa para pendamping kegiatan pembangunan desa, yang biasanya menggunakan kerangka penghidupan berkelanjutan (sustainable livelihood approach/SLA), adalah mencapai penghidupan yang berkelanjutan. Artinya, penghasilan meningkat, kondisi lingkungan lebih lestari, kesehatan warga makin baik, dan kondisi-kondisi yang makin baik lainnya.

Guna mencapai penghidupan yang berkelanjutan, salah satu hal pertama yang perlu dilakukan adalah memetakan potensi desa. Caranya adalah dengan mengenali berbagai modal yang dimiliki desa. Ini mulai dari modal fisik (antara lain infrastruktur), modal finansial (dana desa), modal lingkungan (bentang alam), sampai modal sosial dan bahkan juga modal budaya/kultural. 

Beragam modal tersebut akan digunakan sebagai dasar mengembangkan berbagai kegiatan ekonomi produktif bagi warga desa, baik secara individual maupun komunal sebagai kegiatan usaha di bawah pengelolaan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Yang terakhir ini sekaligus juga menjadi salah satu sumber pendapatan asli (PAD) desa yang diharapkan dapat menjadi modal finansial mendampingi dana desa.

Baru-baru ini kami berkesempatan mengunjungi sebuah desa wisata di sebuah kaki pegununungan. Dengan bentang alam kaki gunung, dapat diperkirakan jenis wisata yang dikelola BUMDes desa tersebut adalah wisata alam. 

Di sana, ada area perkemahan baik untuk camping ala pendaki gunung atau pramuka maupun glamping alias glamorous camping. Ada pula jalur hiking dengan pemandangan alam di pinggir danau dan air terjun.

SALOMO TOBING

                                                              Siwi Nugraheni

Desa-desa sekitarnya rupanya juga ada beberapa yang mengambil desa wisata sebagai kegiatan mereka. Berlokasi saling berdekatan membuat desa-desa wisata itu menjual produk wisata senada. 

Atas keinginan melakukan diferensiasi produk, desa tempat kami berkunjung menawarkan penampilan musik dan tari yang mereka katakan sebagai khas desa tersebut. Maka, sebuah tarian selamat datang diiringi musik digunakan untuk menyambut pengunjung desa wisata.

Sayangnya, tarian selamat datang diiringi musik  tersebut tidak terlalu berhasil mengirimkan pesan tentang keunikan desa yang diharapkan memberikan nilai tambah dibandingkan desa-desa wisata tetangganya. Alih-alih mengesankan, tarian tersebut untuk sebagian besar pengunjung dirasakan berlebihan. 

Dampaknya justru menimbulkan perasaan tidak nyaman pada pengunjung karena disambut bak raja. Paling tidak itu yang dirasakan rombongan kami yang ketika berkunjung mengenakan outfit sangat santai bersiap melakukan hiking.

                                                                                                                                KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Peserta tur wisata desa saat mereka berdiskusi dengan penari gatholoco di Desa Giritengah, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Minggu, 3 Desember 2023. Tari gatholoco yang sempat punah di sejumlah desa seputar Candi Borobudur ini kembali dihidupkan sebagai kesenian rakyat yang sebagian besar adalah petani. Gatholoco yang diiiringi alat musik terbangan atau semacam rebana ini juga mengisahkan kehidupan manusia dari lahir hingga kematiannya melalui syair jawa yang ditembangkan. 

Sebagai umpan balik kepada pengelola desa wisata, kami mengusulkan untuk menampilkan tari dan musik dalam bentuk yang sedikit berbeda, menjadi lebih melibatkan pengunjung sebagai pelaku. Kami contohkan bagaimana Desa Wisata Nglanggeran di Gunung Kidul mengemas kesenian karawitan dengan memberi kesempatan pengunjung untuk memainkan beberapa instrumen gamelan. 

Contoh lainnya adalah permainan angklung di Saung Angklung Udjo di Bandung. Ketika pengunjung ikut melakukan kegiatan seni, unsur mengalami menjadi hal yang lebih menarik bagi pengunjung ketimbang hanya sekadar melihat.

Salah satu kegiatan yang kami lakukan adalah meninjau sungai yang ada di desa tersebut, yang dibuka untuk kegiatan arung jeram. Sayang, cuaca tidak mengizinkan kami mencoba arung jeram. 

Namun, informasi yang kami dapat dari kelompok pengelola desa wisata, unit kegiatan arung jeram menjadi salah satu andalan mereka. Produk wisata ini sangat diminati wisatawan, terutama yang berusia muda, sebagai tempat uji nyali.

Dengan semakin populernya sungai tersebut sebagai lokasi arung jeram yang menantang, semakin meningkat pula jumlah peminat yang berkunjung dan menjajal petualangan berperahu karet mengikuti aliran air di sungai tersebut.

KOMPAS/AGUS SUSANTO

Wisatawan menikmati "body rafting" Santirah River Tubing di Desa Selasari, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Sabtu, 4 Mei 2024. "Body rafting" menyusuri Sungai Santirah sepanjang 1.500 meter tersebut ditempuh dalam waktu dua jam perjalanan dengan melintasi empat goa dan lima air terjun. Wisata air tersebut dibuka 2014 dan kini dikelola oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).

Pengolahan bahan pangan lokal menjadi berbagai makanan ringan sebagai oleh-oleh khas dari desa tersebut patut dibanggakan. Area ini masih bisa didorong untuk bisa memiliki kinerja yang lebih baik.

Sebetulnya jenis makanannya bukan baru. Namun karena dibuat dengan bahan-bahan yang dipanen dari desa, produk desa tersebut memberikan kesan makanan alami yang (dianggap) lebih  sehat. Makanan produksi setempat sebagai oleh-oleh menjadi hal yang paling menarik dari desa tersebut.

Dari cerita di atas, ada satu hal yang dapat dicatat ketika kita melakukan pemetaan potensi desa, yaitu perlunya sudut pandang dari pihak calon konsumen, bukan hanya mengandalkan klaim mandiri. Dalam kunjungan kami ke desa wisata di atas, penyambutan pengunjung dengan tari dan musik kontraproduktif. Pengunjung justru merasa kurang nyaman. 

Dalam pengembangan ke depan, kami juga menjajaki kerja sama dengan desa-desa sekitarnya yang juga mengusung tema desa wisata, dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Desa Bersama (BUMDesma). Kegiatan-kegiatan yang mirip dapat digabung dan setiap desa dapat berkonsentrasi pada sebuah unit kegiatan yang memiliki keunggulan komparatif. 

Dalam kasus desa yang saya ceritakan di atas, area kegiatan glamping dan camping barangkali dapat digabung dengan desa wisata tetangga. Begitu juga dengan kegiatan hiking dan birdwatching. Desa yang bersangkutan dapat menjadi pemimpin dalam kegiatan arung jeram dan penyediaan oleh-oleh. Kolaborasi beberapa desa wisata yang bertetangga, dengan modal bentang alam yang kurang lebih sama diharapkan mendatangkan hasil yang lebih baik.


oleh: Agus Sudibyo

Tak ada lawan yang abadi dalam politik. Bahkan seorang tokoh politik Amerika Serikat pun berhasil memenangi pemilihan presiden berkat bantuan rezim yang sedang berkuasa di Rusia. Padahal, dunia tahu betapa tidak akurnya Amerika Serikat dan Rusia. Kedua negara ini bersaing memperebutkan pengaruh di berbagai kawasan.

Kedua negara terlibat perang proksi di sejumlah negara. Namun, itulah fakta yang belakangan ini semakin gamblang terungkap terkait dengan pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.

Sebuah lembaga riset di St Peterburg, Rusia, yang berafiliasi dengan Presiden Rusia Vladimir Putin bernama Internet Research Agency, terbukti telah merancang dan melaksanakan propaganda politik berskala besar untuk memenangkan Trump dan Partai Republik.
Meskipun berskala besar, propaganda politik terjadi secara senyap dan laten. Sarananya adalah media baru yang sangat familier bagi banyak orang: media sosial (medsos).

Memecah belah masyarakat

Tak ada yang menduga media sosial yang begitu menjanjikan dalam urusan demokratisasi dan deliberasi ternyata telah menjadi sarana operasi politik yang kotor dan merusak. Sebagaimana tidak ada yang menduga Amerika Serikat—negara yang selama ini menguasai jagat media sosial—justru menjadi korban paling absurd dari penyalahgunaan media sosial untuk memecah belah masyarakat.

Untuk mengungkapkan skandal tersebut, Komite Intelijen Senat Amerika Serikat bekerja sama dengan Computational Propaganda Project Universitas Oxford, perusahaan analisis media sosial Graphika, dan perusahaan keamanan siber New Knowledge. Senat Amerika Serikat mengumumkan penelitian tiga lembaga tersebut beberapa saat yang lalu.

Dalam dua laporan yang terpisah, diungkapkan bagaimana proyek manipulasi, disinformasi, dan mobilisasi berskala besar dilakukan agen intelijen Rusia dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016.

Mereka menciptakan ratusan akun media sosial palsu untuk menyebarkan pesan-pesan politik yang provokatif dan insinuatif. Akun-akun tersebut digunakan untuk mengaduk-aduk sentimen primordial masyarakat Amerika melalui  diskusi-diskusi yang penuh prasangka ras atau agama.

Dengan sengaja, diciptakan kerumunan politis di media sosial di mana antinomi imigran vs penduduk asli, kulit putih vs kulit hitam, Muslim vs non-Muslim terus-menerus dibicarakan dengan serampangan.

Sasaran propaganda itu adalah kelompok masyarakat yang cenderung konservatif dalam memandang keberagaman dan masih memendam stereotip tentang kulit hitam, imigran, atau Muslim. Sasaran berikutnya adalah kaum awam yang pada dasarnya kurang berminat terhadap politik.

Mereka terus dibombardir dengan desas-desus mengenai ketidakberesan tahap-tahap pemilihan umum dan tata cara pemungutan suara. Kepada mereka ditanamkan opini bahwa penyelenggaraan pemilu penuh kecurangan.

Tujuannya adalah membuat mereka bingung, marah, hingga kemudian memiliki persepsi negatif tentang penyelenggaraan pemilu dan pemerintah yang sedang berkuasa.

Dari mana agen intelijen Rusia mendapatkan data tentang masyarakat yang cenderung konservatif atau awam dalam urusan politik itu? Jawabnya adalah dari data perilaku pengguna media sosial (user behavioral data) yang dikumpulkan dan dikelola oleh perusahaan media sosial seperti Facebook, Twitter, dan Google.

Bagaimana data itu diperoleh? Facebook berulang-ulang menyatakan tidak tahu-menahu atas penggunaan data perilaku pengguna media sosial itu. Facebook merasa tidak pernah mengizinkan Internet Research Agency atau Cambridge Analityca untuk menggunakan data perilaku pengguna platform media sosial yang mereka operasikan.

Namun, berbagai pihak meragukan Facebook dan lain-lain tidak mengetahui  penyalahgunaan data tersebut. Komite Intelijen Senat Amerika Serikat mengkritik respons yang terlambat dan tidak terkoordinasi dari perusahaan-perusahaan media sosial dalam mengatasi penyalahgunaan data tersebut.

Sebuah kritik yang secara implisit menyatakan Facebook, Twitter, dan lain-lain sesungguhnya mengetahui penyalahgunaan data yang terjadi, tetapi tidak segera bereaksi untuk menghindari kerugian yang lebih besar bagi publik.

Dengan demikian, ada dua kesalahan yang dituduhkan kepada perusahaan penyedia layanan media sosial itu. Pertama, mereka membiarkan platform media sosial mereka digunakan untuk menyebarkan hoaks, ujaran kebencian, dan prasangka rasial yang memecah belah masyarakat.

Kedua, mereka tidak melindungi keamanan data pengguna media sosial yang mereka kelola sehingga data itu dimanipulasi pihak lain. Dengan membobol data tersebut, agen-agen propaganda dapat mengidentifikasi orientasi politik puluhan juta warga Amerika Serikat dan mengarahkan mereka pada pilihan elektoral tertentu.

Akun media sosial puluhan juta orang itu tidak lagi merupakan privasi yang terlindungi, alih-alih terus-menerus terekspos oleh pesan-pesan politik yang agitatif dan propagandis.

Relevan untuk Indonesia

Pengalaman Amerika Serikat tersebut jelas relevan untuk Indonesia. Kita tengah berada dalam suasana politik yang memanas dan bergejolak belakangan. Salah satu lokusnya adalah arus informasi dan diskusi di media sosial. Seperti tidak puas dengan ruang media massa yang sarat dengan batasan etika, para juru kampanye bertindak sebebas-bebasnya di media sosial.

Kebohongan mereka kumandangkan sebagai kebenaran, sikap acuh tak acuh  dan ketiadaan nalar-logis mereka adopsi sebagai strategi, ayat-ayat suci mereka perlakukan sebagai properti pentas propaganda. Persis seperti yang terjadi di Amerika Serikat, media sosial memperlihatkan trend negativitas dalam panggung politik Indonesia dewasa ini.

Setidak-tidaknya ada tiga pelajaran penting dari skandal propaganda politik di media sosial dalam pemilu presiden Amerika Serikat di atas. Pertama, seperti diungkapkan Komite Intelijen Senat Amerika Serikat, agen intelijen Rusia menggunakan semua platform media sosial untuk membantu Trump dan Partai Republik.

Bukan hanya Facebook dan Twitter yang telah digunakan untuk menyebarkan kebencian ras dan kebohongan politis, melainkan juga Youtube, Tumblr, Instagram, Paypal, Google, dan platform media sosial lainnya. Dengan demikian, upaya penanggulangan hoaks dan ujaran kebencian tidak bisa lagi hanya terkonsentrasi pada satu-dua platform media sosial yang dianggap paling populer.

Kedua, isu agama dan ras menjadi obyek utama untuk mempermainkan emosi para pengguna media sosial. Bukan rasionalitas yang disasar, melainkan sentimen primordial. Perlu digarisbawahi, media sosial sanggup meruntuhkan batas-batas intelektualitas. Begitu tersentuh-sentuh keyakinan primordialnya, para pengguna media sosial berubah menjadi sentimentil, sensitif, dan emosional menghadapi fakta keberagaman.

Hal ini bukan hanya terjadi pada orang awam, melainkan juga pada mereka yang berpendidikan tinggi dan berwawasan luas. Mereka menjadi begitu mudah terindoktrinasi dan dimobilisasi.

Mereka begitu mudah berubah menjadi intoleran terhadap sesamanya. Jika bangsa AS yang sangat rasional dan literate begitu mudah dipengaruhi untuk bersikap reaksioner menghadapi fakta keberagaman, tentu saja hal yang sama dapat terjadi di Indonesia.

Ketiga, hal baru yang diungkapkan Komite Intelijen Amerika Serikat adalah propaganda politik di media sosial juga menyasar isu penyelenggaraan pemilu.

Melalui media sosial, disebarkan desas-desus ketidakadilan dan kecurangan penyelenggaraan pemilu. Masyarakat dibuat bingung tentang proses persiapan pemilu, kampanye, dan mekanisme pencoblosan.

Disebarkan opini negatif terhadap pelaksanaan pemilu secara keseluruhan. Propaganda ini bergulir sedemikian rupa sehingga dampak yang timbul bersifat delegitimatif terhadap Hillary dan Partai Demokrat sebagai partai petahana dan sebaliknya, bersifat legitimatif terhadap Trump atau Partai Republik sebagai partai penantang.

Propaganda negatif tentang penyelenggaraan pemilu ini relevan untuk konteks Indonesia hari ini. Pemilu 2019 sangat kompleks dan rawan. Di bilik suara, kita tidak hanya memilih presiden dan wakil presiden, tetapi juga memilih anggota DPR, DPD, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II. Ada sekitar 20.500 kursi yang diperebutkan oleh lebih dari 300.000 kandidat.

Akan ada 850.000 tempat pemungutan suara (TPS) dengan total 5 juta anggota panitia pemungutan suara. Banyak sekali informasi yang mesti diketahui masyarakat tentang proses persiapan pemilu, pemungutan suara, kandidasi, dan lain-lain.

Fakta menunjukkan, hingga hari ini sosialisasi tentang berbagai hal ini masih belum menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hal ini menimbulkan kerawanan mengingat semakin dekatnya penyelenggaraan pemilu.

Dalam kasus AS, kerawanan itu dimanfaatkan para "provokator" untuk menyebarkan spekulasi, desas-desus, dan kabar bohong yang memperkeruh keadaan. Mereka menciptakan suasana kebingungan dan  ketidakpercayaan dalam masyarakat terkait  penyelenggaraan pemilu.

Dalam kebingungan dan ketidakpercayaan itu, mereka mengambil kesempatan dalam kesempitan untuk mewujudkan kepentingan politik tertentu.

Agus Sudibyo Head of New Media Research Center ATVI Jakarta

Kompas, 31 Desember 2018


Copyright © 2013 KEBUN KATA